Resensi Buku

Asumsi Mendalam Terkait Manusia yang Membentuk Budaya Organisasi

Budaya organisasi tidak hanya tercermin dari ritual atau nilai yang terlihat, tetapi juga dari asumsi-asumsi mendalam yang seringkali tidak disadari oleh anggotanya. Dalam Bab 9 buku Organizational Culture and Leadership, Edgar Schein mengupas tiga asumsi inti yang menjadi fondasi budaya organisasi: sifat manusia, aktivitas manusia yang tepat, dan hubungan antar manusia. Pemahaman terhadap asumsi-asumsi ini penting bagi pemimpin untuk mengelola budaya organisasi secara efektif, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi.

Asumsi tentang Sifat Manusia

Schein menjelaskan bahwa pandangan organisasi tentang sifat manusia memengaruhi kebijakan manajemen dan motivasi karyawan. Empat perspektif utama yang diidentifikasi adalah:

  • – Manusia sebagai aktor ekonomi-rasional: Asumsi ini menganggap insentif materi sebagai pendorong utama kinerja. Namun, Schein mengkritiknya sebagai sesuatu yang terlalu simplistis.
  • Manusia sebagai makhluk sosial: Studi Hawthorne menunjukkan bahwa kebutuhan sosial—seperti rasa memiliki dan hubungan dengan rekan kerja—sering lebih penting daripada insentif finansial.
  • Manusia sebagai pemecah masalah dan pencari aktualisasi diri: Teori ini menekankan pentingnya tantangan dan kesempatan pengembangan diri bagi karyawan.
  • Manusia sebagai entitas kompleks dan mudah dibentuk: Motivasi manusia dinamis, tergantung konteks dan waktu, sehingga organisasi perlu adaptif dalam memenuhi kebutuhan beragam karyawan.

Schein juga membandingkan Teori X (manusia malas, perlu dikontrol) dan Teori Y (manusia termotivasi, mencari tantangan). Organisasi yang menganut Teori Y cenderung menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi dan pertumbuhan.

Asumsi tentang Aktivitas Manusia yang Tepat

Budaya organisasi juga dibentuk oleh cara mereka memandang “aktivitas yang tepat”:

  • – Orientasi dalam tindakan: Fokus pada pencapaian tujuan melalui kontrol lingkungan. Budaya ini proaktif dan pragmatis, contohnya organisasi perusahaan startup yang berorientasi pada hasil.
  • Orientasi terhadap penerimaan keadaan: Ini menekankan penerimaan terhadap keadaan. Budaya ini cenderung pasif dan kurang responsif terhadap perubahan.
  • Orientasi terhadap keadaan yang diinginkan: Berfokus pada harmoni melalui pengembangan diri holistik, contohnya seperti organisasi yang mendukung program pelatihan dan keseimbangan hidup kerja.

Asumsi ini menentukan bagaimana organisasi merespons tantangan, mengalokasikan sumber daya, dan mengelola waktu.

Asumsi tentang Hubungan Antar Manusia

Bagian ini membahas dimensi kunci hubungan manusia dalam organisasi:

  • – Individualisme vs Kolektivisme: Budaya individualistis (seperti DEC) mendorong kompetisi dan prestasi individu, sementara budaya kolektivistis (seperti Ciba-Geigy) mengutamakan kerja sama dan loyalitas kelompok.
  • Jarak Kekuasaan: Menggambarkan seberapa besar hierarki diterima. Organisasi dengan jarak kekuasaan rendah (egaliter) memfasilitasi komunikasi terbuka, sedangkan hierarki ketat membatasi partisipasi bawahan.
  • Karakteristik Hubungan Peran: Schein menggunakan model Parsons untuk menganalisis aspek seperti emosionalitas, spesifikasi peran, dan atribusi status (misalnya: promosi berdasarkan prestasi vs senioritas).

Perbedaan asumsi ini memengaruhi dinamika komunikasi, kolaborasi, dan pengambilan keputusan.

Implikasi bagi Kepemimpinan

Schein menekankan bahwa asumsi mendalam sering tidak terlihat, namun menjadi akar konflik budaya. Misalnya, ketidaksesuaian antara nilai individualistis perusahaan multinasional dengan budaya kolektivistis lokal dapat menghambat integrasi tim. Pemimpin perlu mengidentifikasi asumsi budaya melalui observasi dan dialog dengan anggota organisasi. Kemudian menyelaraskan asumsi dengan strategi dan nilai organisasi. Dan yang terakhir, mengelola perubahan budaya secara bertahap, terutama dalam konteks global yang kompleks.

Kesimpulan

Bab 9 menyajikan analisis mendalam tentang bagaimana asumsi tak terucap membentuk DNA budaya organisasi. Pemahaman ini tidak hanya membantu pemimpin menciptakan lingkungan kerja yang kohesif, tetapi juga menjadi kunci dalam menghadapi disrupsi dan keragaman budaya di era modern. Seperti diingatkan Schein, “Budaya bukanlah sesuatu yang dimiliki organisasi, melainkan sesuatu yang menjadi diri organisasi itu sendiri.” Dengan demikian, transformasi budaya harus dimulai dari menguak dan merekonstruksi asumsi-asumsi mendalam yang selama ini mengendalikan perilaku organisasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *