Bagian ke-12 Resensi Buku “The Art of Possibility”
Dalam dunia yang kerap dipenuhi oleh perbedaan dan konflik, buku The Art of Possibility oleh Rosamund Stone Zander dan Benjamin Zander menawarkan perspektif segar tentang cara membangun hubungan yang lebih bermakna. Pada bab berjudul “Telling the WE Story”, kedua penulis mengajak pembaca untuk beralih dari narasi individualistik “aku vs kamu” menuju kesadaran kolektif “kita” (WE).
Melalui pendekatan ini, mereka meyakini bahwa manusia dapat mengatasi batasan, merajut koneksi, dan menciptakan solusi inklusif. Berikut adalah intisari pemikiran yang dibahas dalam bab tersebut.
Mengikis Mentalitas “Kita vs Mereka”
Konflik sering kali berakar dari dikotomi “kita vs mereka”—pembagian yang memisahkan kelompok berdasarkan identitas, kepentingan, atau keyakinan. Zander dan Zander menjelaskan bahwa pola pikir ini meracuni hubungan, baik dalam skala global seperti konflik antarnegara, maupun dalam lingkup kecil seperti perselisihan antarteman. Untuk mengubahnya, kita perlu mengakui bahwa “lensa” ini hanyalah konstruksi sosial. Dengan menolak narasi pemisah, ruang untuk dialog dan kolaborasi pun terbuka.
“WE” Sebagai Entitas yang Menyatukan
Konsep “WE” atau “kita” diperkenalkan sebagai entitas yang melampaui ego individu. Menurut penulis, “WE” adalah melodi yang menyatukan manusia dalam harmoni, meski masing-masing memiliki “nada” berbeda. Entitas ini muncul ketika kita melepaskan cerita tentang ketakutan, persaingan, atau prasangka, lalu beralih ke narasi yang menekankan keterhubungan. Misalnya, dalam sebuah tim kerja, fokus pada tujuan bersama—alih-alih prestasi pribadi—dapat meningkatkan sinergi dan produktivitas.
Mengubah Konflik dengan Bertanya: “Apa yang Kita Inginkan?”
Pertanyaan sederhana seperti “Apa yang terbaik untuk kita?” atau “Bagaimana kita bisa maju bersama?” menjadi kunci transformasi. Pertanyaan ini memaksa kita untuk berpikir secara kolektif, bukan individual. Dalam konflik rumah tangga, misalnya, alih-alih saling menyalahkan, pasangan bisa berfokus pada “Apa yang dibutuhkan hubungan ini?”. Di tingkat organisasi, pertanyaan serupa mendorong solusi yang menguntungkan seluruh pemangku kepentingan, bukan hanya kelompok dominan.
Studi Kasus: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan
Zander dan Zander menyoroti Truth and Reconciliation Commission (TRC) sebagai contoh nyata kekuatan narasi “WE”. Pasca-apartheid, komisi ini tidak hanya mencari keadilan retributif (menghukum pelaku), tetapi juga membangun rekonsiliasi dengan memberi ruang bagi korban dan pelaku untuk bercerita. Proses ini mengubah narasi “kami vs mereka” menjadi “kita sebagai bangsa yang ingin pulih”. Hasilnya, meski tidak sempurna, TRC berhasil mencegah eskalasi kekerasan dan menjadi fondasi perdamaian.
Penerapan “WE” dalam Kehidupan Sehari-hari
Dalam hubungan personal, kita lebih fokus pada kebutuhan bersama, bukan kepentingan pribadi. Dalam lingkungan kerja, hal ini bisa berwujud kolaborasi antartim dengan visi yang menyatukan. Sedangkan dalam isu sosial, berusaha membingkai konflik sebagai masalah sistemik yang membutuhkan solusi partisipatif.
Perjalanan Berkelanjutan Menuju “WE”
Mengadopsi narasi “kita” bukanlah proses instan. Ini memerlukan keberanian untuk mengakui kerentanan, mendengarkan empatik, dan melepaskan ego. Namun, hasilnya sepadan: hubungan yang lebih autentik, resolusi konflik yang berkelanjutan, dan masyarakat yang lebih inklusif.
Kesimpulan
Bab “Telling the WE Story” dalam The Art of Possibility bukan sekadar teori, melainkan ajakan untuk bertindak. Dengan beralih dari “aku” ke “kita”, kita tidak hanya mengubah cara berpikir, tetapi juga menciptakan realitas yang lebih harmonis. Seperti dikatakan Zander dan Zander, “Dunia bukanlah tempat yang terbatas—kitalah yang membatasi diri dengan cerita yang kita pilih.” Mari memilih cerita yang menyatukan, bukan memisahkan.