Resensi Buku

Bagian ke-15 Rangkuman Buku “Learned Optimism”

Sebagai penutup seri pembahasan buku Learned Optimism karya Martin E. P. Seligman, bagian terakhir, bab ke-15 mengajak kita merefleksikan tantangan yang dihadapi generasi mendatang dan peran optimisme fleksibel dalam menjawabnya. Seligman, seorang pelopor psikologi positif, tidak hanya mengkritik pola pikir pesimis tetapi juga memperingatkan dua tren mengkhawatirkan: individualisme ekstrem dan melemahnya komitmen terhadap nilai-nilai bersama (commons). Bagaimana kedua hal ini mengancam kesejahteraan manusia, dan apa solusi yang ditawarkan? Simak ulasan berikut.

Dua Ancaman bagi Generasi Mendatang

Ancaman pertama adalah individualisme yang makin mengikis hubungan sosial. Seligman menyoroti budaya modern yang menempatkan kebahagiaan pribadi di atas segalanya. Meski individualisme mendorong kemandirian, ia juga menciptakan masyarakat yang terfragmentasi.

Dampaknya adalah meningkatnya depresi. Ketika kegagalan terjadi, individu dalam masyarakat individualistis cenderung tidak mendapatkan dukungan sosial yang memadai. Isolasi ini memicu perasaan putus asa, yang menjadi pemicu depresi. Akibat lainnya adalah hilangnya makna hidup. Hidup yang hanya berpusat pada pencapaian pribadi—seperti kekayaan atau status—seringkali terasa hampa. Tanpa kontribusi kepada sesuatu yang lebih besar, manusia kehilangan rasa tujuan.

Ancaman berikutnya adalah menurunnya komitmen terhadap nilai-nilai bersama. Nilai-nilai bersama, seperti kepercayaan pada agama, keluarga, atau negara, menurut Seligman, sedang mengalami erosi. Padahal, nilai inilah yang selama ini menjadi “penahan guncangan” saat individu menghadapi kesulitan. Tanpanya, manusia lebih rentan terhadap krisis eksistensial dan kesulitan menemukan identitas kolektif.

Solusi: Keseimbangan dan Optimisme Fleksibel

Untuk mengatasi ancaman tersebut, Seligman menawarkan dua solusi strategis. Solusi pertama adalah membangun kembali keseimbangan. Seligman menekankan pentingnya menyeimbangkan hak individu dengan tanggung jawab sosial.

Caranya bisa dengan melakukan moral jogging: Konsep ini mengajak individu melakukan aksi kecil namun konsisten untuk kebaikan bersama. Contohnya, menyisihkan 5% penghasilan untuk donasi, menjadi relawan di komunitas, atau sekadar mendengarkan masalah rekan kerja. Aktivitas ini tidak hanya membantu orang lain, tetapi juga memberi makna pada hidup pelakunya.

Cara lainnya bisa dengan memperkuat komitmen pada nilai bersama. Menghidupkan kembali komitmen pada keluarga, agama, atau komunitas dapat menjadi fondasi untuk menghadapi kegagalan. Nilai-nilai ini memberikan “jaring pengaman” emosional dan mengingatkan kita bahwa hidup tidak hanya tentang diri sendiri.

Solusi yang kedua adalah mengembangkan optimisme fleksibel. Optimisme fleksibel adalah kemampuan untuk memilih kapan harus bersikap optimis dan kapan perlu realistis. Lebih jauh ia menjelaskan pentingnya mengenal batas optimisme. Optimisme buta bisa berbahaya. Misalnya, seorang pengusaha yang terlalu yakin pada ide bisnisnya mungkin mengabaikan risiko kegagalan. Optimisme fleksibel mengajak kita memadukan harapan positif dengan analisis objektif.

Kita juga perlu melatih keterampilan optimisme. Teknik seperti disputing pessimistic thoughts (membantah pikiran pesimis) dan decoupling failure from identity (memisahkan kegagalan dari identitas diri)—yang dijelaskan dalam bab sebelumnya—perlu terus diasah. Keterampilan ini membantu kita bangkit lebih cepat dari keterpurukan.

Masa Depan yang Lebih Resilien

Seligman menutup bukunya dengan pesan penuh harap: masa depan bukanlah sesuatu yang telah ditetapkan, tetapi pilihan. Dengan menyeimbangkan individualisme dan komitmen sosial, serta mengadopsi optimisme fleksibel, generasi mendatang dapat menghadapi tantangan global—seperti perubahan iklim, ketimpangan, atau krisis mental—dengan lebih siap.

Kunci utamanya adalah kolaborasi. Individualisme boleh mendorong inovasi, tetapi tanpa nilai bersama, inovasi itu bisa kehilangan arah. Sebaliknya, komitmen pada kebaikan bersama memberikan konteks yang membuat pencapaian pribadi menjadi bermakna.

Penutup

Learned Optimism bukan sekadar buku tentang psikologi positif, melainkan panduan untuk membangun masyarakat yang lebih sehat secara mental dan sosial. Bab terakhir ini mengingatkan kita bahwa optimisme bukanlah ilusi, melainkan alat strategis yang harus digunakan dengan bijak. Dengan merangkul fleksibilitas dan keseimbangan, kita tidak hanya menyelamatkan diri sendiri, tetapi juga ikut membentuk masa depan yang lebih manusiawi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *