HR Strategic

Metode Pembelajaran Osmosis: Bagaimana Pendekatan Ini Bekerja dalam Praktik

Setelah di artikel sebelumnya memahami filosofi dasarnya, penting untuk menguraikan bagaimana pendekatan “menularkan, bukan mengajari” diimplementasikan dalam keseharian organisasi. Berikut adalah langkah-langkah konkret yang menggambarkan mekanisme kerja pendekatan ini, termasuk peran masing-masing pihak.

Langkah-Langkah Proses

Peran Senior (Mentor)

  • The Role Model (Teladan Nyata): Peran utama senior bukanlah sebagai pengajar yang menyiapkan silabus atau modul, melainkan sebagai role model atau contoh hidup yang diperhatikan oleh junior. Kredibilitas, etos kerja, dan cara berpikir mereka menjadi “materi kurikulum” utama. Senior tidak perlu terus-menerus memberi ceramah; mereka hanya perlu menjalankan peran mereka dengan baik, karena setiap tindakan mereka adalah pelajaran.
  • Fokus pada Mengajak Bekerja Bersama: Alih-alih memberikan tugas simulasi, senior mengajak serta junior dalam proyek nyata (live project) yang sedang dikerjakan. Undangan ini berbentuk, “Ayo, ikut saya rapat dengan klien ini,” atau “Coba kamu bantu saya analisis data ini untuk presentasi besok.” Dengan demikian, junior langsung terpapar dengan kompleksitas, tekanan, dan dinamika dunia kerja yang sesungguhnya.
  • Prinsip Shadowing Aktif (Mengikuti Secara Aktif): Kunci di sini adalah aktif. Junior tidak hanya duduk diam di belakang layar monitor seniornya. Mereka diberi tugas-tugas kecil yang relevan dan bertahap dalam proyek tersebut. Misalnya, sambil mengamati senior memimpin rapat, junior mungkin diminta untuk membuat notulen, atau sambil melihat senior membuat kode, junior diminta untuk men-debug bagian sederhana. Selama proses ini, mereka secara saksama mengamati proses pengambilan keputusan senior—mengapa opsi A yang dipilih, bukan B; bagaimana menangani interupsi; bagaimana mengelola ekspektasi.

Peran Junior (Peserta)

  • The Observer (Pengamat Melalui Observasi Mendalam): Junior dituntut untuk menjadi pengamat yang aktif dan kritis. Mereka tidak hanya mencatat “apa” yang dilakukan senior, tetapi terus menggali “mengapa” dan “bagaimana”. Mereka mengamati pola pikir, konteks yang mempengaruhi keputusan, etika profesional, serta cara senior menghadapi tekanan. Pertanyaan seperti, “Mengapa ia memilih kata-kata itu saat menyampaikan berita buruk?” atau “Bagaimana ia mengalokasikan waktu ketika deadline mendesak?” menjadi fokus utama.
  • Belajar Soft Skill yang Tersembunyi: Banyak kompetensi terpenting justru dipelajari dengan cara ini. Kemampuan seperti bernegosiasi, membangun rapport (keakraban), mengelola stres, berdiplomasi dengan pemangku kepentingan yang berbeda, serta membaca situasi ruangan adalah soft skill yang hampir mustahil diajarkan secara efektif melalui modul formal. Keterampilan ini diserap melalui observasi berulang terhadap sang mentor dalam action.
  • Mencoba Sendiri Secara Bertahap dan Mendapat Umpan Balik Kontekstual: Setelah periode observasi, junior diberikan kesempatan untuk mencoba melakukan tugas yang lebih besar. Senior kemudian mengambil peran sebagai pengawas yang memberikan koreksi hanya bila diperlukan. Umpan balik tidak diberikan secara mentah-mentah (“Itu salah!”), tetapi dalam bentuk pertanyaan reflektif (“Menurutmu, apa dampak dari pilihan yang kamu ambil tadi?” atau “Ada cara lain yang mungkin lebih efektif?”). Prinsipnya adalah memberi lebih banyak ruang untuk bereksplorasi dan belajar dari kesalahan, daripada mengarahkan setiap langkah secara kaku.

Contoh Skenario Nyata

  • Dalam Proyek Desain: Seorang desainer junior diajak duduk bersama desainer senior yang sedang mengerjakan UI/UX sebuah aplikasi. Junior mengamati bagaimana senior melakukan user research, memilih palette warna, dan berdebat dengan product manager. Kemudian, junior diberi tugas untuk mendesain satu halaman sederhana, dan senior memberikan masukan pada akhir sesi.
  • Dalam Coding Bersama (Pair Programming): Seorang programmer junior berpasangan dengan senior. Senior yang mengetik kode (driver) sambil terus menyuarakan pemikirannya (“Saya gunakan fungsi ini karena…”), sementara junior (observer) mengamati, memberikan saran, dan bertanya. Posisi ini bisa bergantian, sehingga junior merasakan langsung tekanan untuk menulis kode yang baik di bawah pengawasan.
  • Dalam Mengelola Rapat: Seorang junior diajak untuk menghadiri rapat penting. Sebelum rapat, senior menjelaskan konteks dan tujuannya. Selama rapat, junior mengamati bagaimana senior memimpin jalannya diskusi, mengalokasikan waktu, dan menangani perbedaan pendapat. Pada rapat berikutnya, junior mungkin diminta untuk mempresentasikan satu agenda kecil.
  • Dalam Menangani Klien: Saat keluhan klien datang, senior mengajak junior untuk mendengarkan bagaimana ia menangani telepon tersebut. Junior belajar empati, teknik komunikasi, dan problem-solving under pressure secara langsung. Untuk kasus berikutnya yang levelnya lebih ringan, junior boleh mencoba menanganinya terlebih dahulu dengan dampingan dari senior.

Melalui serangkaian proses inilah “penularan” kompetensi terjadi. Pembelajaran tidak lagi terasa seperti sebuah instruksi, tetapi更像 sebuah perjalanan kolaboratif dimana pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai diserap secara organik dan mendalam.

Melalui rangkaian praktik ini, kita bisa melihat bahwa metode “menularkan, bukan mengajari” bukan hanya konsep menarik, tetapi benar-benar menghadirkan pola kerja yang hidup dan kolaboratif. Namun, seefektif apa pun metode ini, hasil akhirnya tetap sangat bergantung pada kesiapan dan kualitas pihak yang belajar. Sebab tidak semua junior otomatis mampu menyerap, mengamati, dan berkembang melalui proses osmosis ini. Karena itu, pada pembahasan berikutnya kita akan masuk ke bagian yang tak kalah penting: apa saja syarat, sikap, dan kapasitas yang harus dimiliki seorang junior agar metode ini benar-benar bekerja secara optimal. Dengan memahami sisi ini, organisasi dapat memastikan proses “penularan” berjalan lebih sehat, cepat, dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *