Resensi Buku

Berpikir Seperti Diri Sendiri, Berperilaku Seperti Orang Lain 2

Sebenarnya, kita semua suka menyembunyikan perasaan dan berbohong, karena sepenuhnya mengungkapkan diri itu sulit dalam kehidupan sosial. Sejak kecil, kita diajarkan untuk menyembunyikan pikiran kita, memberi tahu orang lain sesuatu yang ingin ia dengar, dan berusaha agar tidak menyakiti perasaan mereka. Bagi banyak orang, hal ini biasa saja—ada ide dan nilai yang sudah diterima, dan tidak ada gunanya berdebat. Meskipun kita yakin dengan apa yang kita pikirkan, kita sering memakai topeng di depan orang lain.

Namun, ada saja yang merasa bahwa pembatasan ini adalah pelanggaran terhadap kebebasan. Mereka merasa perlu membuktikan bahwa nilai dan keyakinannya lebih baik. Tetapi, pada kenyataannya, argumen mereka jarang membuat orang lain setuju, malah seringkali menyinggung perasaan. Hal ini terjadi karena kebanyakan orang sudah begitu yakin dengan ide dan nilai mereka sehingga sulit untuk mengubahnya. Ada suatu kandungan emosional yang kuat dalam sebuah keyakinan, sehingga mereka tidak ingin mengganti caranya berpikir.

Orang yang bijaksana belajar bahwa mereka bisa menunjukkan perilaku dan mengucapkan kata-kata yang diterima oleh kebanyakan orang, meskipun sebenarnya itu tidak sepenuhnya ia sepakati. Kelebihan dari perilaku ini adalah mereka bisa menjaga pikiran mereka sendiri, dan jika perlu, menyatakan pandangan mereka kepada orang yang benar-benar mereka percayai.

Pada akhir abad keempat belas, di Spanyol, terjadi penganiayaan besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi. Ribuan orang dibunuh dan banyak diusir ke luar negeri. Mereka yang tetap tinggal di Spanyol diharuskan mengganti agama mereka. Namun, selama tiga ratus tahun berikutnya, orang Spanyol melihat hal yang membuat mereka heran: Banyak orang yang pindah agama menjadi Katolik, tetapi secara rahasia mereka masih mempertahankan keyakinan Yahudi secara pribadi. Mereka yang dilabeli sebagai Marranos, istilah penghinaan yang kini bermakna “babi”, kemudian berhasil mencapai posisi tinggi dalam pemerintahan, menikahi bangsawan, dan tampak sangat saleh dalam agama Kristen, hanya untuk kemudian teridentifikasi sebagai penganut Yahudi pada akhir hidup mereka.

Berarti selama bertahun-tahun, kaum Marranos mahir dalam menyembunyikan kepercayaan mereka. Mereka tahu bahwa dalam masyarakat, penampilan luar sangat penting. Dan ini masih berlaku sampai sekarang. Strateginya sederhana: mereka berpura-pura seperti orang lain, bahkan menjadi pendukung yang sangat antusias dari agama yang berlaku. Jika Anda terlihat seperti orang umum di depan publik, orang akan susah percaya bahwa Anda punya pemikiran yang berbeda dari kebanyakan.

Satu-satunya waktu yang pantas untuk membedakan diri, tampil beda, atau bahkan menentang kebiasaan adalah ketika Anda sudah menjadi orang yang menonjol—ketika Anda sudah mencapai posisi kekuasaan yang kuat, dan bisa menunjukkan perbedaan Anda sebagai tanda bahwa Anda berada di atas orang lain. Sebagai contoh, presiden Amerika Serikat, Lyndon Johnson, terkadang mengadakan pertemuan sambil duduk di toilet. Karena tidak ada orang lain yang bisa atau mau melakukan hal seperti itu, Johnson ingin menunjukkan bahwa dia tidak terikat oleh aturan formal dan sopan santun yang mengikat orang lain.

Kaisar Romawi Caligula juga melakukan hal serupa: Dia akan mengenakan daster wanita atau jubah mandi ketika menerima tamu penting. Bahkan, dia pernah menjadikan kudanya sebagai konsul. Namun, tindakan eksentriknya berbalik menyerangnya karena orang-orang tidak menyukainya, dan hal itu akhirnya menyebabkan kejatuhannya. Pada akhirnya, selalu ada tempat bagi orang yang mengacaukan norma, yang berhasil menentang kebiasaan dan mengejek hal-hal yang dianggap tabu dalam suatu budaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *