Resensi Buku

Memanfaatkan Kemarahan demi Kekuasaan 3

Orang yang mudah marah sering terlihat konyol karena tanggapan mereka terhadap situasi di sekitarnya seringkali tidak proporsional. Mereka cenderung memandang segala sesuatu terlalu serius dan melebih-lebihkan kekecewaan yang mereka alami.

Meskipun mereka sesaat terlihat menakutkan, pada akhirnya, mereka kehilangan rasa hormat dari selainnya. Orang menyadari bahwa kemarahan bukanlah tanda kekuatan, tetapi justru menandakan ketidakberdayaan. Melibatkan diri dalam kemarahan yang berlebihan tidak akan memberikan manfaat jangka panjang.

Namun, hal ini tidak berarti kita harus menekan respons kemarahan atau emosi kita. Represi seperti itu dapat menguras energi dan mendorong perilaku yang aneh. Sebaliknya, perubahan perspektif diperlukan. Kita perlu menyadari bahwa interaksi sosial dan permainan kekuasaan tidak selalu bersifat pribadi. Kemarahan seseorang seringkali berasal dari masalah masa kecil, masalah keluarga, dan pengalaman dengan orang lain.

Penting untuk memahami bahwa ketika seseorang meledakkan kemarahannya, itu mungkin bukan semata-mata ditujukan pada kita. Menyadari hal ini memungkinkan kita untuk memainkan permainan kekuasaan dengan lebih baik. Yaitu dengan tidak bereaksi berlebihan menghadapi emosi orang lain, kita dapat memanfaatkan kemarahan orang lain menjadi keuntungan kita, menjaga kepala kita dingin sementara pihak lawan kehilangan kendali mereka.

Saat bermain dengan emosi orang, penting untuk berhati-hati dan mempelajari karakter musuh terlebih dulu. Seperti halnya mempermainkan ikan, ada beberapa ikan yang sebaiknya dibiarkan di dasar kolam.

Sejarah mencatat kejadian di kota Tirus, ibu kota Fenisia kuno, yang merasa yakin dapat menahan Alexander Agung. Meskipun Alexander telah menaklukkan Timur, dia belum menyerang kota Tirus yang terlindungi dengan baik.
Pemimpin kota mengirim duta kepada Alexander, mengakui kepemimpinannya namun menolak memberikan izin bagi pasukannya memasuki Tirus. Respons ini membuat Alexander marah, dan ia langsung mengepung kota. Meskipun Tirus berhasil bertahan selama empat bulan, akhirnya Alexander merasa tidak sepadan untuk berperang lebih lanjut dan memutuskan untuk bernegosiasi. Namun, merasa telah memancing Alexander, pihak kota menolak untuk berunding, bahkan membunuh utusan yang dikirim Alexander. Ini memicu kemarahan Alexander, dan ia memutuskan untuk melanjutkan serangan. Dalam beberapa hari saja, Alexander merebut Tirus, meratakan kota, dan menjual penduduknya sebagai budak.

Pelajaran yang bisa diambil dari cerita ini adalah bahwa saat memanipulasi emosi lawan, kita perlu menguji air terlebih dahulu dan mencari celah dalam kekuatan mereka. Jika tidak ada celah atau mereka terlalu kuat, memprovokasi mereka bisa berakibat merugikan. Ibarat mengaduk kolam ikan, kita perlu memilih dengan hati-hati ikan mana yang akan kita incar dan menghindari mengganggu ikan yang berbahaya.

Meskipun terkadang ledakan kemarahan dapat bermanfaat pada saat yang tepat, penting untuk menjaga kemarahan agar tetap di bawah kendali. Dengan begitu, kita dapat menentukan dengan tepat bagaimana dan kepada siapa kemarahan itu akan diarahkan. Selain itu, kita harus berhati-hati agar tidak membangkitkan reaksi yang merugikan dalam jangka panjang. Menggunakan kemarahan terlalu sering juga dapat membuatnya kehilangan kekuatannya dan maknanya.

Dengan pendekatan yang bijaksana dan penuh pertimbangan, kita dapat memanfaatkan emosi dan kemarahan dengan efektif tanpa menimbulkan kerugian pada diri sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *