Resensi Buku

Menjembatani Kesenjangan Keberanian: Dari Nilai ke Tindakan Nyata

Dalam bukunya Daring Greatly, Brené Brown memperkenalkan konsep krusial yang sering kita abaikan: “disengagement divide.” Ini adalah jurang pemisah yang dalam antara nilai-nilai aspirasional (apa yang kita katakan kita percayai) dan nilai-nilai yang dipraktikkan (bagaimana kita benar-benar bertindak). Bab “Mind the Gap” menegaskan bahwa kesenjangan inilah akar dari pudarnya keterhubungan, semangat, dan rasa tujuan di rumah, sekolah, dan tempat kerja. Ketika apa yang kita khotbahkan tidak selaras dengan apa yang kita lakukan, yang muncul adalah erosi kepercayaan dan motivasi, yang pada akhirnya mematikan keterlibatan.

Mengurai Akar Masalah: Disengagement

Disengagement bukanlah sekadar gejala, melainkan masalah mendasar. Budaya di mana disengagement merajalela dapat dikenali dengan mengamati pola perilaku yang nyata. Perhatikan apa yang sebenarnya dihargai atau dihukum dalam sebuah sistem, bagaimana sumber daya dialokasikan, dan aturan tak tertulis seperti apa yang benar-benar dijalani. Yang terpenting, perhatikan apakah ada rasa aman bagi individu untuk berbagi perasaan dan gagasan tanpa takut dihakimi. Jika nilai-nilai luhur seperti “keterbukaan” hanya menjadi slogan, sementara dalam praktiknya kesalahan disembunyikan dan kerentanan ditertawakan, maka disengagement adalah konsekuensi yang tak terelakkan.

Membangun Keterlibatan yang Disruptif

Lantas, bagaimana kita membalikkan keadaan? Brown menawarkan konsep “disruptive engagement,” suatu bentuk keterlibatan yang sejati dan mengganggu kenyamanan status quo. Keterlibatan semacam ini memerlukan rehumanisasi dengan berani memasuki ranah kerentanan dan mengakui peran rasa malu. Percakapan jujur tentang ketakutan, kegagalan, dan ketidakpastian bersifat disruptif karena mereka membongkar hal-hal yang selama ini disembunyikan dan menantang norma yang sudah mapan. Hanya dengan menghadapi ketidaknyamanan inilah kita dapat mulai menjembatani kesenjangan nilai.

Strategi Menutup Kesenjangan Nilai

Menutup kesenjangan antara nilai dan tindakan membutuhkan keberanian yang konsisten. Dalam konteks keluarga, orang tua mungkin bercita-cita menanamkan kejujuran dan rasa hormat. Namun, jika dalam keseharian anak-anak melihat ketidakkonsistenan—misalnya, orang tua berbohong di telepon atau tidak saling menghormati—maka yang diserap anak adalah nilai yang dipraktikkan, bukan yang diaspirasikan. Hal yang sama berlaku di tempat kerja dan sekolah. Pemimpin dan pendidik harus menciptakan ekosistem di mana inovasi dan kreativitas bisa tumbuh. Ini berarti memberikan rasa aman bagi karyawan dan siswa untuk mengambil risiko, mengajukan pertanyaan, dan bahkan membuat kesalahan tanpa dihantui rasa malu atau hukuman.

Umpan balik yang jujur adalah pilar utama dalam strategi ini. Namun, umpan balik yang efektif bukanlah tentang mengkritik, melainkan tentang memberikan perspektif kekuatan. Pendekatan ini berfokus pada mengidentifikasi dan memanfaatkan potensi terbaik seseorang untuk mengatasi tantangan. Umpan balik harus diberikan dengan empati, rasa hormat, dan kesediaan untuk “duduk bersama” dalam ketidaknyamanan yang mungkin timbul selama proses tersebut.

Singkatnya, untuk mengatasi disengagement, kita harus berani menunjukkan diri secara utuh. Kerentanan bukanlah tanda kelemahan, melainkan katalis untuk membangun hubungan yang kuat dan perubahan yang bermakna. The Daring Greatly Leadership Manifesto yang dirumuskan Brown menegaskan hal ini: kepemimpinan sejati adalah tentang keinginan untuk terus belajar, menginspirasi, dan berani mengambil risiko. Dengan memprioritaskan keselarasan antara kata dan perbuatan, serta membangun budaya empati dan umpan balik konstruktif, kita dapat menutup jurang disengagement dan menciptakan ruang di mana keterhubungan, kreativitas, dan tujuan yang sejati dapat berkembang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *