Resensi Buku

Resensi Bagian ke-5 Buku Dare to Lead

Brené Brown, peneliti dan penulis buku Dare to Lead, menggagas konsep “The Vulnerability Armory”—kumpulan mekanisme pertahanan emosional yang secara tidak sadar kita gunakan untuk menghindari rasa rentan. Dalam bukunya, Brown menjelaskan bahwa kerentanan (vulnerability) bukanlah kelemahan, melainkan sumber keberanian dan koneksi autentik. Namun, manusia sering bersembunyi di balik “baju zirah” emosional untuk melindungi diri dari risiko rasa malu, penolakan, atau ketidakpastian.

Tiga Pertahanan Utama yang Menghambat

Pertahanan pertama disebut sebagai Foreboding Joy. Sebuah istilah yang dicetuskan oleh Brené Brown, menggambarkan perasaan cemas yang muncul saat merasakan kebahagiaan. Ini seperti sebuah bayangan yang selalu menghantui, mengingatkan kita akan kemungkinan buruk yang mungkin terjadi, bahkan di saat-saat kita seharusnya merasakan sukacita. Seperti Menunggu Sepatu Jatuh – Metafora “sepatu jatuh” (waiting for the other shoe to drop) menggambarkan perasaan ini dengan tepat. Kita seolah-olah selalu bersiap menghadapi hal buruk yang mungkin terjadi, sehingga kita tidak mampu sepenuhnya menikmati momen bahagia yang sedang kita alami.

Pertahanan kedua adalah perfeksionisme. Keyakinan bahwa kesempurnaan akan melindungi diri dari penilaian negatif. Padahal, ini justru menghalangi inovasi, karena pemimpin terjebak dalam ketakutan membuat kesalahan.

Pertahanan yang terakhir adalah numbing. Kebiasaan menumpulkan emosi lewat kesibukan berlebihan, konsumsi junk food, atau kecanduan kerja. Perilaku ini menghambat kemampuan pemimpin untuk merespons tantangan dengan jernih.

Strategi Melepaskan Baju Zirah

Brown menawarkan beberapa solusi praktis. Solusi pertama, syukur sebagai penangkal foreboding joy. Misalnya, mencatat pencapaian kecil harian untuk melatih fokus pada momen positif. Self-compassion dapat digunakan untuk melawan perfeksionisme. Mengakui bahwa “ketidaksempurnaan adalah manusiawi” memungkinkan pemimpin mengambil risiko tanpa beban. Kemudian, menghadapi ketidaknyamanan alih-alih melarikan diri. Misalnya, mengakui kecemasan saat memberikan feedback sulit, bukan menghindarinya.

Kerentanan: Kunci Kepemimpinan Autentik

Pemimpin yang berani rentan menciptakan budaya shame-resilient—lingkungan di mana anggota tim tidak takut dihakimi. Contohnya, CEO yang terbuka tentang kegagalan proyek justru memicu diskusi konstruktif untuk perbaikan. Brown menekankan bahwa kerentanan dalam kepemimpinan bukan tentang kelemahan, melainkan keberanian untuk:

  1. Meminta maaf ketika salah
  2. Mengakui ketidaktahuan
  3. Mendelegasikan tugas tanpa merasa kehilangan kendali

Pertahanan Lain yang Perlu Diwaspadai

Selain tiga pertahanan utama, Brown menyoroti kebiasaan seperti sinisme (mengolok-olok ide baru untuk menghindari risiko) atau oversharing (membuka rahasia pribadi secara impulsif sebagai bentuk pseudo-keterbukaan). Keduanya sama-sama menghambat koneksi yang bermakna.

Kesimpulan

“The Vulnerability Armory” mengajarkan bahwa kepemimpinan efektif dimulai dari kesediaan melepas pertahanan emosional. Dengan berani rentan, pemimpin tidak hanya membangun kepercayaan, tetapi juga mendorong tim untuk berpikir kreatif dan bertumbuh. Seperti kata Brown, “Vulnerability is the birthplace of innovation, creativity, and change.” Tantangannya bukan pada menghilangkan ketakutan, tetapi memilih untuk bertindak meski hati berdebar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *