Resensi Bagian ke-2 Buku Dare to Lead
Artikel ini merupakan bagian 2 dari Seri Pembahasan buku Dare to Lead karya Brené Brown. Di bagian ini, menurutnya, budaya “scarcity” atau “tidak pernah cukup” berakar pada rasa malu, perbandingan, dan keterasingan. Budaya ini memiliki dampak buruk pada pada kesehatan mental individu. Kali ini, kita akan mengeksplorasi lebih dalam bagaimana budaya ini merusak dinamika kepemimpinan dan organisasi, serta langkah praktis untuk mengubahnya.
Budaya Scarcity vs. Kepemimpinan yang Efektif
Brené Brown menegaskan bahwa budaya “tidak pernah cukup” tidak hanya meracuni individu, tetapi juga menghambat pertumbuhan organisasi. Dalam konteks kepemimpinan, budaya ini menciptakan lingkungan yang penuh ketakutan, menghambat inovasi, dan merusak kolaborasi. Berikut dampak-dampak kritis yang perlu diwaspadai:
Dampak pertama adalah membunuh kepercayaan diri. Budaya yang mengutamakan kesempurnaan dan menghukum kegagalan membuat individu ragu mengambil risiko. Karyawan atau anggota tim merasa ide mereka “tidak cukup baik” sehingga enggan berbicara atau berinovasi. Padahal, kepemimpinan yang kuat membutuhkan keberanian untuk menantang status quo. Brown menekankan, “Inovasi lahir dari keberanian gagal, bukan dari ilusi kesempurnaan.”
Dampak berikutnya adalah memicu keterasingan. Rasa tidak aman akibat takut dihakimi atau dikucilkan membuat orang menarik diri dari interaksi. Dalam organisasi, hal ini terlihat dari minimnya komunikasi, enggannya anggota memberikan masukan, atau kurang partisipasi dalam pengambilan keputusan. Tim yang terfragmentasi sulit mencapai tujuan bersama, karena kolaborasi digantikan oleh sikap defensif.
Dampak ketiga, terkikisnya kreatifitas dan inovasi. Ketika kesalahan dianggap sebagai aib, kreativitas terbunuh perlahan. Orang memilih jalan aman dengan mengulangi metode lama, alih-alih mengeksplorasi solusi baru. Brown menyebut ini sebagai “kematian inovasi”—organisasi terjebak dalam zona nyaman yang justru membuatnya tertinggal dalam persaingan.
Dampak yang terakhir, merusak hubungan dan kepercayaan. Budaya scarcity mendorong sikap saling menyalahkan dan kompetisi tidak sehat. Alih-alih bekerja sama, orang sibuk mencari celah untuk membuktikan diri “lebih baik” dari rekan. Konflik pun meningkat, sementara kepercayaan—pondasi utama tim—terkikis.
Membangun Budaya “Cukup” dalam Organisasi
Lantas, bagaimana pemimpin dapat mengatasi budaya ini? Brown menawarkan solusi berbasis konsep “cukup”:
Pemimpin memulai dengan bersedia mengakui kerentanan. Pemimpin perlu menjadi contoh dalam mengakui ketidaksempurnaan. Misalnya, membuka ruang diskusi tentang kegagalan proyek tanpa rasa malu. Ini menciptakan psikologis safety—anggota tim merasa aman untuk jujur dan mencoba hal baru.
Pemimpin perlu mengganti perbandingan dengan rasa syukur. Alih-alih fokus pada pencapaian tim lain, biasakan tim untuk merayakan kemajuan kecil mereka sendiri. Praktek syukur harian atau sesi apresiasi bisa mengalihkan pola pikir dari “kurang” menjadi “cukup.”
Pemimpin mendorong penghargaan terhadap proses, alih-alih hanya menekankan hasil. Evaluasi kinerja tidak hanya melihat target, tetapi juga usaha, pembelajaran, dan adaptasi. Ini mengurangi tekanan berlebihan dan memotivasi tim untuk terus berkembang.
Pemimpin harus membangun hubungan yang orisinil. Kurangi hierarki kaku dan ciptakan ruang untuk berbagi cerita pribadi. Koneksi emosional memperkuat empati dan mengurangi kecenderungan saling menghakimi.
Penutup
Budaya “tidak pernah cukup” adalah musuh invisible yang menggerogoti potensi organisasi. Kepemimpinan transformatif harus berani menggantinya dengan budaya yang merayakan kemanusiaan—tempat setiap individu merasa berharga meski tak sempurna. Seperti diingatkan Brown, “Kepemimpinan bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang memberdayakan orang lain untuk menemukan bahwa mereka sudah ‘cukup’.” Dengan demikian, organisasi tidak hanya mencapai produktivitas, tetapi juga menjadi ruang tumbuh yang manusiawi.