Resensi Buku

Resensi Bagian ke-6 Buku Dare to Lead

Dalam bukunya Dare to Lead” Brown menyoroti konsep revolusioner melalui bab berjudul Disruptive Engagement: Daring to Rehumanize Education and Work. Bab ini mengajak pembaca untuk merefleksikan bagaimana budaya “tak pernah cukup” (scarcity culture) dan rasa malu (shame) menghambat potensi manusia di lingkungan pendidikan dan kerja. Brown menawarkan perspektif transformatif: hanya dengan keberanian memanusiakan kembali interaksi, kita bisa menciptakan ekosistem yang mendukung kreativitas, inovasi, dan pertumbuhan.

Budaya “Tak Pernah Cukup”

Brown menggambarkan budaya “tak pernah cukup” sebagai lingkungan yang dipenuhi ketakutan akan ketidaksempurnaan. Dalam budaya ini, individu merasa harus terus-menerus membuktikan diri, menghindari risiko, dan menyembunyikan kelemahan. Contoh nyata terlihat di Silicon Valley, di mana karyawan enggan mengajukan ide baru karena takut dihina atau diremehkan. Rasa malu menjadi senjata tak kasatmata yang membunuh inisiatif.

Budaya ini tidak hanya merusak produktivitas, tetapi juga memutuskan koneksi antarmanusia. Ketika organisasi lebih mementingkan reputasi daripada martabat individu, tercipta cover-up culture—budaya menutupi kesalahan demi menjaga citra. Akibatnya, pembelajaran dari kegagalan pun terhambat.

Mengenali Rasa Malu dan Strategi Mengatasinya

Brown menekankan bahwa rasa malu berbeda dari rasa bersalah. Jika rasa bersalah muncul karena kesalahan spesifik, rasa malu adalah perasaan bahwa diri kita secara utuh tidak cukup baik. Di lingkungan kerja atau pendidikan, rasa malu bisa dikenali melalui tanda seperti:

  1. Gosip, menyalahkan, atau favoritisme.
  2. Penggunaan rasa malu sebagai alat kontrol.
  3. Ketakutan berlebihan untuk gagal atau berbicara.

Atau, jika Anda ingin menambahkan style atau class tertentu, Anda bisa menggunakan kode seperti ini:

  1. Gosip, menyalahkan, atau favoritisme.
  2. Penggunaan rasa malu sebagai alat kontrol.
  3. Ketakutan berlebihan untuk gagal atau berbicara.

Untuk melawan ini, Brown menawarkan empat strategi kunci:

  1. Mendorong kepemimpinan yang berani—pemimpin harus membuka dialog jujur tentang rasa malu.
  2. Menyadari keberadaan rasa malu—identifikasi bagaimana ia memengaruhi dinamika tim.
  3. Menormalisasi ketidaknyamanan—proses belajar dan tumbuh seringkali tidak nyaman, dan itu wajar.
  4. Melatih umpan balik konstruktif—fokus pada kekuatan, bukan celaan.

Kesenjangan Nilai: Ideal vs. Praktis

Salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan antara nilai yang diidealkan dan yang dipraktikkan. Misalnya, organisasi mengklaim “menghargai integritas”, tetapi membiarkan kecurangan kecil untuk mencapai target. Atau sekolah yang mengagungkan “kreativitas”, namun menghukum siswa karena berpikir di luar kotak.

Brown menegaskan bahwa inkonsistensi ini menciptakan ketidakamanan psikologis. Solusinya? Selaraskan nilai ideal dengan tindakan nyata. Jika sebuah perusahaan menjunjung transparansi, pemimpin harus menjadi contoh dalam mengakui kesalahan. Jika sekolah ingin siswa berani bertanya, guru perlu menciptakan ruang aman tanpa penghakiman.

Keterlibatan Disruptif di Lingkungan Kerja

Di dunia kerja, keterlibatan disruptif memerlukan keberanian memimpin dengan kerentanan. Beberapa prinsip yang bisa diterapkan diantaranya:

  • Umpan balik berpusat pada kekuatan: Alih-alih fokus pada kesalahan, bantu karyawan mengenali potensi mereka.
  • Kesetaraan dalam komunikasi: Pemimpin yang duduk sejajar dengan tim saat diskusi menunjukkan penghormatan dan keterbukaan.
  • Jujur tentang ketidaktahuan: Pemimpin yang mengakui batas pengetahuan justru membuka peluang kolaborasi dan pembelajaran.

Contoh nyata bisa dilihat di perusahaan yang mengganti sistem evaluasi tahunan dengan feedback berkala. Pendekatan ini mengurangi tekanan dan memungkinkan perbaikan berkelanjutan.

Rehumanisasi Pendidikan

Sedangkan di sekolah atau kampus, budaya disruptif dimulai dengan mengubah cara pandang terhadap kesalahan. Brown menyarankan:

  • Normalisasi ketidaknyamanan: Jelaskan pada siswa bahwa kebingungan adalah bagian alami dari belajar.
  • Umpan balik yang membangun: Guru bisa menggunakan frasa seperti, “Aku melihat usahamu. Mari kita cari cara untuk memperkuat bagian ini.”
  • Ruang aman untuk kerentanan: Izinkan siswa berdiskusi tanpa takut diejek. Misalnya, mengadakan sesi “pertanyaan bodoh” di kelas, di mana tidak ada jawaban yang dianggap salah.

Kepemimpinan yang Berani dan Berpusat pada Manusia

Berdasarkan idenya ini, Brown menggambarkan pemimpin ideal sebagai sosok yang:

  1. Berani menerima kerentanan: Mengakui kelemahan bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan.
  2. Membangun hubungan autentik: Menghubungkan nilai organisasi dengan kebutuhan individu.
  3. Memprioritaskan kesejahteraan: Menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental, seperti kebijakan flexible working hours atau program konseling.

Seorang CEO secara terbuka berbagi kegagalan masa lalunya dalam rapat perusahaan. Sikap ini memicu budaya di mana karyawan merasa aman untuk mengambil risiko.

Penutup: Dari Teori ke Aksi

Bab Disruptive Engagement tidak sekadar teori, tetapi seruan untuk bertindak. Membangun budaya yang manusiawi dimulai dari kesadaran bahwa rasa malu dan ketakutan adalah musuh bersama. Dengan keberanian memimpin secara autentik, baik di kantor maupun kelas, kita bisa menciptakan ekosistem di mana setiap individu merasa dihargai, didengar, dan diberdayakan.

Seperti kata Brown, “Vulnerability is the birthplace of innovation, creativity, and change.” Kerentanan bukanlah kelemahan, melainkan katalisator untuk transformasi. Tantangan kita sekarang adalah berani mengambil langkah pertama—menghidupkan kembali humanisme di tengah dunia yang kerap mengagungkan kesempurnaan semu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *