Resensi Buku

Mengurai Asumsi Budaya dan Peran Kepemimpinan dalam Membentuk Realitas Organisasi

Bab 7 buku “Organizational Culture and Leadership” karya Edgar Schein membahas fondasi tak kasatmata yang membentuk perilaku kelompok: asumsi budaya tentang realitas dan kebenaran. Schein mengungkap bahwa setiap organisasi atau komunitas memiliki paradigma tersembunyi yang diwariskan turun-temurun, menentukan cara anggota kelompok memandang dunia, mengambil keputusan, dan bertindak. Pemahaman mendalam tentang asumsi ini tidak hanya krusial untuk mengelola budaya organisasi, tetapi juga menjadi kunci kepemimpinan yang efektif.

Tiga Tingkat Realitas dalam Budaya Organisasi

Schein membagi realitas menjadi tiga dimensi. Pertama, realitas fisik, yaitu hal yang bisa dibuktikan secara empiris, seperti sifat benda yang pecah ketika dipukul. Kedua, realitas sosial, berupa konsensus kelompok yang tidak selalu objektif, seperti nilai moral atau norma budaya. Ketiga, realitas individu, yaitu persepsi personal yang mungkin berbeda dari orang lain. Dalam organisasi, ketidakselarasan pemahaman ketiga realitas ini dapat memicu konflik. Misalnya, jika tim engineering mengandalkan data teknis (realitas fisik), sementara tim pemasaran berfokus pada preferensi pelanggan (realitas sosial), kolaborasi bisa terhambat tanpa upaya menyatukan persepsi.

Kriteria Menentukan Kebenaran: Dari Otoritas hingga Ilmiah

Selain realitas, Schein menjelaskan enam kriteria yang digunakan kelompok untuk menentukan kebenaran:

  1. Dogma tradisional atau agama, mengacu pada ajaran yang dianggap sakral.
  2. Kebijaksanaan berdasarkan otoritas, seperti keputusan pemimpin atau ahli.
  3. Proses rasional-legal, misalnya kepatuhan pada hukum atau prosedur voting.
  4. Kebenaran melalui debat, di mana ide terkuat bertahan setelah dikritik.
  5. Kebenaran pragmatis, berdasarkan hasil nyata (misal: strategi yang terbukti meningkatkan penjualan).
  6. Metode ilmiah, mengutamakan eksperimen dan data.

Pilihan kriteria ini sangat dipengaruhi budaya organisasi. Perusahaan rintisan teknologi mungkin mengutamakan metode ilmiah, sementara lembaga keagamaan lebih mengandalkan dogma.

Kepemimpinan: Jembatan Antara Asumsi Budaya dan Tindakan

Schein menegaskan bahwa kepemimpinan tidak bisa dipisahkan dari pengelolaan asumsi budaya. Berikut peran kunci pemimpin:

  1. Pembentuk Realitas: Pemimpin menciptakan narasi yang memengaruhi cara anggota organisasi memandang tantangan dan peluang. Misalnya, CEO yang konsisten menyoroti inovasi akan mendorong tim untuk berpikir progresif.
  2. Penentu Kriteria Kebenaran: Pemimpin memilih dasar pengambilan keputusan. Seorang direktur yang berorientasi data akan menjadikan analisis statistik sebagai acuan, sementara pemimpin berbasis nilai mungkin mengutamakan etika.
  3. Adaptasi Gaya Kepemimpinan: Efektivitas pemimpin bergantung pada keselarasan dengan budaya yang ada. Gaya demokratis bisa gagal di organisasi paternalistik jika tidak disertai pendekatan bertahap.
  4. Agen Perubahan Budaya: Transformasi budaya memerlukan pemimpin yang paham asumsi lama dan mampu memperkenalkan nilai baru. Contohnya, menggeser budaya hierarkis ke kolaboratif dengan memberi contoh komunikasi terbuka.
  5. Kesadaran Diri: Pemimpin harus refleksif terhadap bias budaya mereka sendiri. Tanpa ini, risiko memaksakan persepsi pribadi ke kelompok yang beragam akan tinggi.

Penutup

Bab 7 karya Schein mengingatkan bahwa kesuksesan organisasi tidak hanya bergantung pada strategi atau sumber daya, tetapi juga pada kemampuan memahami dan mengelola asumsi budaya. Bagi pemimpin, ini berarti harus menjadi fasilitator yang mampu menjembatani realitas fisik, sosial, dan individu, sekaligus luwes dalam memilih kriteria kebenaran yang sesuai konteks. Di era globalisasi, di mana perbedaan budaya semakin sering bersinggungan, keahlian ini menjadi kunci menciptakan organisasi yang inklusif, adaptif, dan berkelanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *