Mengurai Lima Disfungsi Tim 1
Buku The Five Dysfunctions of a Team karya Patrick Lencioni telah menjadi rujukan penting dalam dunia kepemimpinan dan manajemen tim. Melalui kisah fiksi perusahaan teknologi DecisionTech, Lencioni menggambarkan dinamika tim yang rapuh dan cara mengubahnya menjadi tim yang solid. Artikel ini mengulas inti cerita serta model lima disfungsi tim yang menjadi fondasi buku tersebut.
Latar Belakang DecisionTech, Potensi Besar yang Terkikis
DecisionTech adalah startup di Silicon Valley dengan modal awal yang menjanjikan: tim eksekutif berpengalaman, rencana bisnis terstruktur, dan dukungan investor kelas atas. Namun, dua tahun setelah pendiriannya, perusahaan ini justru terpuruk. Deadline penting terlewat, karyawan kunci mengundurkan diri, dan moral tim merosot. Kegagalan ini memicu dewan direksi untuk mengambil langkah drastis: menurunkan jabatan CEO dan co-founder Jeff Shanley ke posisi kepala pengembangan bisnis. Keputusan ini disambut lega oleh banyak karyawan yang merasa kepemimpinan Jeff tidak mampu menciptakan lingkungan kerja yang sehat.
Kathryn Petersen, Pemimpin yang Membawa Angin Perubahan
Tiga minggu setelah keputusan tersebut, Kathryn Petersen direkrut sebagai CEO baru. Latar belakangnya di industri manufaktur dan usianya yang lebih tua membuatnya dianggap tidak cocok dengan budaya progresif DecisionTech. Namun, Kathryn memiliki reputasi sebagai ahli pembangun tim—kompetensi yang sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan perusahaan dari disfungsi internal. Meski diragukan di awal, kehadirannya menjadi titik balik bagi DecisionTech.
Model Lima Disfungsi Tim
Lencioni memetakan masalah DecisionTech ke dalam model lima disfungsi tim yang saling berhubungan, disusun seperti piramida. Setiap disfungsi menjadi akar bagi masalah di atasnya:
1. Ketiadaan Kepercayaan (Absence of Trust)
Fondasi utama tim yang sehat adalah kepercayaan berbasis kerentanan. Anggota tim harus mampu terbuka tentang kelemahan dan kesalahan tanpa takut dihakimi. Tanpa ini, tim akan terjebak dalam sikap defensif dan enggan berkolaborasi.
2. Ketakutan Akan Konflik (Fear of Conflict)
Tim yang tidak percaya diri cenderung menghindari konflik produktif. Mereka memilih diam alih-alih berdebat secara sehat, sehingga masalah tidak tuntas dan keputusan tidak optimal.
3. Kurangnya Komitmen (Lack of Commitment)
Ketakutan berkonflik menyebabkan ketiadaan kesepakatan yang jelas. Tanpa komitmen pada keputusan bersama, tim mudah goyah dan tidak fokus pada tujuan kolektif.
4. Penolakan Tanggung Jawab (Avoidance of Accountability)
Tanpa komitmen, anggota tim enggan menghadapi pertanggungjawaban. Kritik konstruktif dihindari, sehingga kesalahan tidak diperbaiki dan kinerja tim stagnan.
5. Ketidakpedulian Terhadap Hasil (Inattention to Results)
Puncak disfungsi ini terjadi ketika tim lebih mementingkan ego individu daripada tujuan bersama. Hasil perusahaan pun terabaikan.
Transformasi Menjadi Tim yang Sehat
Kathryn berhasil membalikkan keadaan DecisionTech dengan fokus memperbaiki disfungsi dari dasar piramida. Dia menciptakan lingkungan di mana anggota tim merasa aman untuk jujur, berkonflik secara sehat, dan berkomitmen penuh pada keputusan. Akuntabilitas ditegakkan, dan hasil perusahaan menjadi prioritas utama.
Kesederhanaan Model dan Tantangan Penerapannya
Meski model ini terlihat sederhana, penerapannya membutuhkan disiplin tinggi. Lencioni menyarankan penggunaan kuesioner evaluasi untuk mengidentifikasi disfungsi dalam tim. Tantangan terbesar adalah konsistensi dalam membangun kepercayaan dan keberanian menghadapi konflik—kunci utama menuju tim yang berkinerja tinggi.
Kisah DecisionTech mengajarkan bahwa masalah tim sering berakar dari dinamika interpersonal, bukan sekadar strategi bisnis. Dengan memahami dan mengatasi lima disfungsi ini, tim mana pun dapat bertransformasi menjadi lebih solid dan berfokus pada hasil.