Bagian ke-11 Rangkuman Buku “Learned Optimism”
Pembahasan buku “Learn Optimism” kali ini membicarakan bagaimana optimisme berpengaruh dalam politik, agama, dan budaya. Seligman, melalui penelitiannya, berusaha untuk menggabungkan prinsip-prinsip psikologi dengan sejarah untuk menghasilkan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana optimisme dan pesimisme membentuk jalannya sejarah dan budaya.
Psikohistori: Menapaki Jejak Hari Selden
Seligman terinspirasi oleh novel fiksi ilmiah Isaac Asimov, “Foundation Trilogy”, yang memperkenalkan konsep “psikohistori”, yaitu ilmu yang menggunakan prinsip-prinsip psikologi untuk memprediksi masa depan. Seligman terdorong untuk menanyakan, “Apakah mungkin untuk memprediksi masa depan dengan menggunakan prinsip-prinsip psikologi?”
Seligman, bersama dengan muridnya Harold Zullow, mengembangkan teknik “CAVE” (Content Analysis of Verbatim Explanations), yaitu teknik analisis isi untuk menentukan tingkat optimisme seseorang melalui pernyataan-pernyataan yang mereka buat. Teknik ini digunakan untuk menganalisis pidato-pidato para pemimpin dunia dan menemukan bahwa tingkat optimisme dalam pidato mereka dapat memprediksi hasil pemilihan umum. Seligman dan Zullow berhasil memprediksi hasil pemilihan umum presiden Amerika Serikat tahun 1988 dengan tingkat akurasi yang tinggi.
Optimisme dalam Politik: Mengapa Pemilih Memilih Optimisme?
Seligman dan Zullow menemukan bahwa dalam 32 pemilihan umum presiden Amerika Serikat sejak tahun 1900, 28 di antaranya dimenangkan oleh calon dengan tingkat optimisme yang lebih tinggi. Pemilih, tampaknya, tertarik pada para pemimpin yang menjanjikan masa depan yang lebih baik, yang memiliki optimisme yang kuat dalam mengatasi masalah negara.
Penelitian Seligman dan Zullow menunjukkan bahwa orang cenderung memilih pemimpin yang optimis karena:
Keinginan untuk melihat tindakan: Para pemimpin yang optimis cenderung lebih proaktif dan energik dalam kampanye mereka.
Kesukaan terhadap optimisme: Pemilih lebih suka pemimpin yang optimis karena mereka memberikan rasa harapan dan keyakinan.
Optimisme yang dikaitkan dengan kemampuan: Pemilih cenderung mengasosiasikan optimisme dengan kemampuan untuk memecahkan masalah dan membuat perubahan positif.
Optimisme dalam Budaya: Melampaui Batas-Batas
Seligman mempertanyakan apakah prinsip-prinsip optimisme berlaku universal atau hanya terbatas pada budaya Barat. Dia meneliti perbedaan budaya antara penduduk East Berlin dan West Berlin dan menemukan bahwa, meskipun penduduk East Berlin lebih optimis dalam berita olahraga mereka, mereka lebih pesimis dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa optimisme dan pesimisme bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor budaya dan sosial.
Agama dan Optimisme: Menjelajahi Harapan dalam Agama
Seligman juga meneliti pengaruh agama terhadap optimisme. Penelitian menunjukkan bahwa penganut agama tertentu, seperti orang Yahudi Rusia, memiliki tingkat optimisme yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang Rusia Ortodoks. Seligman dan kolaboratornya menunjukkan bahwa pesan-pesan agama, seperti doa dan cerita keagamaan, dapat membentuk tingkat optimisme dalam suatu budaya.
Psikohistori yang Diperbaharui: Menggali Data Historis
Seligman menyimpulkan bahwa psikohistori telah berkembang jauh dari bentuk awal yang menggunakan analisis kasus tunggal. Teknik “CAVE” dan analisis data historis memungkinkan para ilmuwan untuk mempelajari tingkat optimisme dalam skala yang lebih besar, memprediksi peristiwa sejarah, dan mengungkap hubungan antara optimisme, budaya, dan politik.
Kesimpulan: Optimisme yang Fleksibel
Seligman menekankan bahwa optimisme bukanlah solusi untuk semua masalah, tetapi merupakan alat yang berharga untuk mengatasi tantangan hidup. Kita harus mampu menggunakan optimisme secara fleksibel, memilih untuk menggunakannya ketika dibutuhkan, dan tetap menyadari realitas ketika situasi menuntut realisme.
Melalui pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana optimisme dan pesimisme membentuk budaya, kita dapat bekerja untuk mengembangkan masyarakat yang lebih optimis, yang berfokus pada solusi, bukan hanya masalah. Optimisme yang dipelajari, menurut Seligman, dapat menjadi kunci untuk mengatasi tantangan masa depan, baik secara individual maupun secara kolektif.