Berkomitmen pada Kepentingan Sendiri adalah Penting bagi Kekuasaan (1)
Dalam buku 48 Laws of Power, salah satu prinsip mempertahankan dan meraih kekuasaan adalah dengan tidak memihak pada kepentingan apapun selain kepentingan sendiri. Orang yang terburu-buru untuk memihak adalah orang yang bodoh. Jangan terlalu berkomitmen pada satu pihak atau tujuan kecuali diri sendiri. Dengan tetap mandiri, Anda akan menjadi orang yang memiliki kekuasaan atas orang lain. Anda dapat memanipulasi mereka, membuat mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan perhatian Anda.
Jangan berkomitmen pada siapapun, tapi tempatkan posisi Anda agar diakui oleh semua orang. Jika Anda membiarkan orang lain merasa memiliki kendali atas Anda sampai batas tertentu, Anda akan kehilangan segala kekuasaan atas mereka. Dengan menahan diri dari menentukan keberpihakan Anda, mereka akan berusaha lebih keras untuk memenangkan Anda. Tetaplah menjaga jarak dan Anda akan mendapatkan kekuatan dari perhatian dan keinginan mereka yang secara mati-matian ingin diwujudkan. Gunakanlah strategi “Ratu Perawan”; Berikan mereka harapan tetapi jangan pernah memuaskan mereka sepenuhnya.
Pada tahun 1558, Ratu Elizabeth I naik takhta Inggris. Pernikahan menjadi perdebatan di Parlemen dan di kalangan rakyat Inggris. Mereka tidak sepakat mengenai siapa yang harus menjadi suaminya, tetapi semua sepakat bahwa dia harus menikah segera untuk memiliki ahli waris. Bujangan tampan seperti Sir Robert Dudley, Earl of Essex, dan Sir Walter Raleigh bersaing mendapatkan hati Elizabeth. Meski dia tidak menolak mereka, Elizabeth tampaknya tidak terburu-buru. Pada tahun 1566, Parlemen meminta Elizabeth menikah sebelum terlambat. Elizabeth memainkan permainan halus dengan para pelamarnya, membuat mereka berfantasi tentang dirinya. Dia dihormati sebagai “Permaisuri dunia” dan “Virgo yang berbudi luhur”. Elizabeth secara tersirat menyampaikan ungkapan kesediaan, namun tetap menjaga jarak. Raja dan pangeran di Eropa tahu bahwa menikah dengan Elizabeth akan memperkuat aliansi dengan Inggris. Raja Spanyol dan pangeran Swedia dan Austria berusaha merebut hatinya, tetapi Elizabeth dengan sopan menolak mereka.
Di masa Elizabeth, terjadi masalah diplomatik dengan pemberontakan Flemish dan Belanda yang saat itu dikuasai oleh Spanyol yang juga melibatkan Prancis, beberapa pihak lain, dan Inggris tentunya. Pada tahun 1570, aliansi dengan Prancis mulai terlihat menjadi opsi terbaik. Duke Anjou dan Alençon, saudara raja Prancis, menjadi calon terkuat suami Elizabeth. Ratu itu terus memberi mereka harapan, hingga akhirnya aliansi Prancis-Inggris sudah benar-benar terjalin. Tapi setelah Elizabeth melakukan tarik-ulur hubungan dengan mereka, pada akhirnya memutuskan hubungan tersebut. Elizabeth hidup tanpa menikah dan pewaris, namun memerintah dengan periode perdamaian dan kekayaan budaya yang patut dibanggakan. Dia meninggal sebagai Ratu Perawan.
Elizabeth memiliki alasan yang baik untuk tidak menikah. Dia melihat kesalahan yang dilakukan oleh sepupunya, Mary Queen of Scots. Melalui pengalaman itu, dia menyadari bahwa menikah sebagai seorang ratu bisa berakibat buruk. Menikah dengan orang asing tidak akan disukai, sedangkan bila memilih keluarga bangsawan tertentu akan menimbulkan persaingan yang berdampak buruk. Mary memilih suaminya, Lord Darnley, yang beragama Katolik, yang kemudian menimbulkan kemarahan orang-orang Protestan di Skotlandia dan menyebabkan kekacauan. Elizabeth menyadari bahwa pernikahan sering kali membawa kehancuran bagi penguasa wanita. Pernikahan membatasi pilihan dan memunculkan keterlibatan dalam konflik yang tidak diinginkan, bahkan bisa berujung pada perang yang sia-sia. Selain itu, suami bisa menjadi penguasa de facto dan mencoba mengambil alih kekuasaan sang ratu, seperti yang dilakukan Darnley terhadap Mary. Oleh karena itu, Elizabeth berkomitmen untuk menghindari pernikahan dan perang. Dia menggabungkan tujuan ini dengan mempertahankan kemungkinan pernikahan sebagai alat untuk menjalin aliansi. Elizabeth menjaga misteri dan keinginan dalam hubungannya dengan pelamar, tidak pernah menyerah atau mengecilkan harapan mereka. Melalui permainan godaan dan menjaga jarak sepanjang hidupnya, Elizabeth memegang kendali dan mendominasi negara serta pria-pria yang ingin menaklukkannya. Dengan mempertahankan kemandirian di atas segalanya, Elizabeth melindungi kekuasaannya dan menjadi objek pemujaan.