Resensi Buku

Bertindaklah Seperti Raja agar Berkuasa 3

Pada bagian sebelumnya kita telah melihat tokoh sejarah yang piawai memproyeksikan dirinya sebagai karakter yang penuh keagungan dan layak mendapat penghormatan. Di bagian ini kita akan melihat sosok lain yang gagal mempertahankan kekuasaannya karena salah satunya meninggalkan tradisi simbol-simbol keagungan monarki.

Pada bulan Juli 1830, terjadi revolusi di Paris yang membuat Raja Charles X harus turun takhta. Sebuah komisi yang terdiri dari para pemimpin tertinggi negara berkumpul untuk memilih pengganti, dan yang terpilih adalah Louis-Philippe, Duke of Orléans. Perbedaan yang mencolok dari awal adalah bahwa Louis-Philippe berasal dari cabang keluarga kerajaan yang berbeda dan tidak secara langsung mewarisi mahkota kerajaan, sehingga legitimasi kepemimpinannya dipertanyakan.

Namun terdapat perbedaan lain yang lebih signifikan, sikapnya yang sederhana dan tidak mengedepankan kemewahan kerajaan. Ia lebih banyak memiliki hubungan dengan para bankir daripada kaum bangsawan, dan ia tidak menciptakan pemerintahan baru seperti yang dilakukan Napoleon, melainkan berusaha menjaga kedudukannya dengan berbaur dengan pengusaha dan warga kelas menengah yang mendukungnya.

Simbol-simbol yang terkait dengan Louis-Philippe bukanlah mahkota atau tongkat kerajaan, melainkan topi abu-abu dan payung yang selalu ia bawa saat berjalan-jalan di jalan-jalan Paris. Sikapnya seolah-olah ia adalah seorang warga biasa daripada seorang raja. Ia bahkan mengundang James Rothschild, bankir terkemuka di Prancis, ke istananya dan memperlakukannya secara setara. Louis-Philippe lebih mencintai uang daripada yang lainnya dan telah mengumpulkan kekayaan yang besar.

Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintahan “raja borjuis” ini mulai mendapat banyak kritik. Aristokrasi tidak tahan melihat raja yang tidak tunduk pada tradisi kerajaan, sementara kalangan miskin dan kaum radikal yang mengusir Charles X merasa tidak puas dengan penguasa yang tidak menjalankan tugas kerajaan dengan baik. Para bankir, yang awalnya mendukung Louis-Philippe, menyadari bahwa mereka yang sebenarnya mengendalikan negara, dan mereka mulai meremehkannya.

Louis-Philippe juga menghadapi pemberontakan buruh yang menentangnya, yang pada akhirnya ia tumpas dengan kekerasan. Namun, yang ia pertahankan bukanlah institusi monarki atau republik demokratis, melainkan kekayaan pribadi dan kekayaan para bankir. Pada awal tahun 1848, rakyat Prancis dari berbagai lapisan mulai berdemonstrasi menuntut reformasi pemilu yang nantinya akan membuat negara tersebut menjadi benar-benar demokratis.

Demonstrasi ini akhirnya berubah menjadi revolusi dengan kekerasan, dan Louis-Philippe mencoba menenangkan rakyat dengan mengganti perdana menterinya dengan seorang liberal. Namun, ini malah memicu aksi protes yang lebih besar, dan akhirnya, pada 23 Februari, ia turun takhta dan melarikan diri ke Inggris tanpa penerus, sehingga pemerintahannya bubar tanpa meninggalkan jejak.

Louis-Philippe berusaha menghilangkan citra kerajaan yang mewah dan bersinar, namun hal itu justru menjadikannya tidak populer di mata rakyat. Rakyat Prancis menginginkan pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menginspirasi kesetiaan, ketakutan, atau cinta, bukan pemimpin yang berusaha menjauhkan diri dari mereka. Kesalahan tersebut menjadi salah satu faktor dalam jatuhnya pemerintahannya dan berakhirnya monarki di Prancis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *