Resensi Buku

Dalam Kekuasaan, Menjauhlah dari Bayangan Pendahulu 3

Pada saat membangun kekuasaan, Mungkin seseorang pernah merasa telah berbeda dari orang tua atau figur ayah sebelumnya, namun seiring berjalannya waktu, penting untuk tetap waspada agar tidak berakhir seperti mereka. Sebagai contoh, Mao Tse-tung awalnya tidak menyukai ayahnya dan mencari identitas dan nilai-nilai baru dalam perjuangan melawannya. Namun, seiring bertambahnya usia, sikap ayahnya secara perlahan muncul kembali.

Awalnya, Mao menilai lebih tinggi terhadap kecerdasan daripada pekerjaan manual, tetapi ayahnya menghargai sebaliknya. Ironisnya, Mao tanpa disadari mulai mengadopsi pandangan ayahnya saat ia menua, memaksa generasi intelektual Tiongkok menjadi pekerja kasar, yang merugikan rezimnya.

Penting untuk diingat bahwa kita membentuk diri kita sendiri. Jangan biarkan diri Anda menghabiskan waktu bertahun-tahun menciptakan diri hanya untuk kemudian lengah dan membiarkan masa lalu, seperti ayah, kebiasaan, dan sejarah, kembali menguasai. Seperti yang dicatat dalam kisah Louis XV yang meneruskan kekuasaan ayahnya, kesuksesan dan kekayaan dapat membuat seseorang malas dan tidak aktif karena merasa aman. Ini merupakan bahaya serius, terutama bagi mereka yang mencapai sukses dan kekuasaan pada usia muda.

Pablo Picasso mencapai kesuksesan dengan cara terus-menerus mengubah gaya lukisannya, meskipun itu sering kali berarti meninggalkan apa yang telah membuatnya sukses sebelumnya. Ini seperti ketika kita meraih kemenangan awal dan enggan berkembang sesudahnya. Orang-orang yang kuat menyadari bahaya ini; seperti Alexander Agung, mereka terus berjuang untuk menciptakan ulang diri mereka sendiri. Penting untuk tidak membiarkan masa lalu, seperti figur ayah, menguasai kembali. Sebaliknya, perlu melakukan perubahan agar terus berkembang.

Namun prinsip ini bisa dibalik dalam kondisi tertentu, ada seorang pemimpin hebat yang menggunakan ketenaran pendahulunya sebagai trik untuk memperoleh kekuasaan. Misalnya, Napoleon III mengambil keuntungan dari nama pamannya, Napoleon Bonaparte, untuk menjadi presiden dan kemudian kaisar Prancis. Namun, begitu berada di posisi tinggi, ia dengan cepat menunjukkan bahwa pemerintahannya berbeda dari pendahulunya, menjaga agar tidak terikat dengan masa lalu.

Kadang-kadang, kita bisa belajar dari masa lalu untuk mencapai keberhasilan. Bahkan Alexander Agung mengakui kepiawaian ayahnya dalam mengorganisir pasukan. Tapi, penting juga untuk tidak terlalu meniru mereka.

Joseph II, misalnya, mengambil pendekatan yang berbeda dari ibunya, Maria Theresa. Meskipun Maria Theresa agung dan aristokrat, Joseph II memilih tampil sebagai “bangsawan kaisar,” mengenakan pakaian sederhana dan tinggal di penginapan. Ini mungkin terlihat berani, tetapi tindakan seperti itu harus memiliki logika dan tujuan tersendiri. Karena kemampuan si anak dalam hal ini dibawah kemampuan ibu, lebih baik bila ia tetap dibawah saja.

Prinsip ini berlaku kebalikan bagi status quo. Bijaklah dalam memperhatikan generasi muda dan saingan masa depan Anda. Jangan biarkan mereka menggunakan trik yang sama yang Anda gunakan untuk memberontak melawan pendahulu Anda. Seperti seniman Pietro Bernini yang cerdas, kita harus waspada terhadap mereka yang mungkin mencoba menyaingi kita. Contohnya, Bernini mempekerjakan Francesco Borromini sebagai asistennya, tidak hanya karena bakatnya, tetapi juga sebagai taktik psikologis untuk menjaga Borromini tetap dekat dengannya dan mencegahnya berkembang terlalu jauh. Dengan demikian, kita bisa belajar bahwa kecerdikan dan kehati-hatian dalam menghadapi persaingan dapat membantu kita mempertahankan posisi yang lebih kuat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *