Memanfaatkan Kemarahan demi Kekuasaan 1
Kemarahan dan emosi seringkali membuat situasi menjadi lebih sulit dan tidak produktif ketika menerapkan sebuah strategi meraih kekuasaan. Menjaga ketenangan dan tetap objektif adalah kunci untuk mengatasi konflik kekuasaan. Namun, terkadang, ada keuntungan tersendiri jika Anda dapat membuat lawan Anda marah. Dalam situasi tertentu, membuat lawan tidak seimbang dapat membuka celah keangkuhan mereka, memungkinkan Anda untuk menggoyahkan mereka dan mengambil kendali atas kelemahan mereka. Prinsip ini dikemukakan Robert Greene dalam bukunya 48 Laws of Power.
Sebuah contoh sejarah yang menggambarkan konsep ini terjadi pada bulan Januari 1809, ketika Napoleon menghadapi permasalahan politik di Paris. Napoleon mendengar desas-desus bahwa menteri luar negerinya, Talleyrand, dan menteri polisi, Fouché, bersekongkol melawannya. Dalam pertemuan dengan para menteri, Napoleon marah dan mencoba mengintimidasi mereka, terutama Talleyrand. Meskipun Napoleon berusaha menciptakan ketakutan dengan menggunakan kata-kata keras, Talleyrand tetap tenang dan tampak tidak peduli.
Napoleon mencoba mencemooh dan menghina Talleyrand, tetapi sang menteri tetap santai. Meskipun kaisar melemparkan kata-kata kasar dan mengancam, Talleyrand tidak terpengaruh. Napoleon bahkan mengusir Talleyrand dari istana, tetapi sang menteri tidak kehilangan ketenangan. Secara tidak langsung, Talleyrand memenangkan pertarungan ini dengan mempertahankan martabat dan kesabaran. Napoleon, yang terkenal sebagai jenderal yang tak kenal takut, kehilangan kendali dan kehilangan dukungan publik.
Reaksi marah Napoleon menunjukkan bahwa ketidaksetujuan dan frustrasi bisa membuat seseorang kehilangan kontrol atas diri sendiri. Dalam menghadapi persekongkolan politik, Napoleon sebenarnya bisa mengambil pendekatan yang lebih bijaksana. Dia bisa mendengarkan alasan dari lawan-lawannya atau mencoba merebut kembali dukungan mereka. Namun, dengan mengeluarkan respon marah dan mengeluarkan ancaman, Napoleon malah memperburuk situasi.
Seorang hakim bernama Itakura Shicemune di Kyoto memiliki hobi yang unik. Dia sangat menyukai Cha-no-yu, atau upacara minum teh, dan bahkan suka menggiling tehnya sendiri. Itakura Shicemune juga seorang hakim di pengadilan. Ceritanya dimulai ketika dia bertanya pada seorang temannya, seorang pedagang teh bernama Eiki, tentang pendapat publik tentang dirinya.
Eiki mengungkapkan bahwa masyarakat merasa kesal karena Shicemune sering memarahi orang-orang tanpa memberikan bukti dengan jelas. Hal ini membuat orang-orang takut untuk mengajukan tuntutan hukum, dan jika mereka melakukannya, kebenaran seringkali tidak terungkap.
Mendengar hal ini, Shicemune merenung dan menyadari bahwa kebiasaannya berbicara tajam dapat menghambat proses hukum dan membuat orang bingung. Dia berjanji untuk mengubah perilakunya dan memastikan bahwa dia tidak lagi membuat orang kesulitan.
Untuk menjaga ketenangan pikirannya selama menghadapi kasus di pengadilan, Shicemune menyediakan sebuah alat peracik teh di depannya. Di hadapannya, ada shoji yang dilapisi kertas yang dapat ditarik. Dia duduk di belakang alat itu dan mulai menggiling teh sambil mendengarkan kasus-kasus di pengadilan.
Dengan cara ini, Shicemune bisa tetap fokus dan objektif. Dia bahkan bisa menilai keadaan pikirannya dengan melihat komposisi teh yang digilingnya. Jika dia merasa terlalu bersemangat, tehnya tidak akan merata dengan baik.
Dengan pendekatan ini, keadilan bisa ditegakkan tanpa adanya pihak yang dirugikan. Orang-orang yang datang ke pengadilan Shicemune pergi dengan puas karena mereka tahu bahwa kasus mereka telah diperlakukan dengan adil dan objektif.
Penting untuk diingat bahwa menjaga ketenangan dan berpikir dengan jernih dalam menghadapi persoalan kekuasaan adalah kunci untuk mencapai solusi yang lebih baik. Terlepas dari situasi sulit, reaksi marah jarang membawa manfaat jangka panjang. Kesabaran dan kebijaksanaan, seperti yang ditunjukkan oleh Talleyrand, dapat menjadi kunci untuk mengatasi tantangan dengan lebih efektif.