Menyembunyikan Tujuan Sebagai Strategi Meraih Karir (1)
Saat berusaha meraih pucuk posisi dalam jenjang karir, seseorang sangat mungkin menyembunyikan keinginannya sebagai sebuah strategi. Hallllll inilah yang ditangkap oleh buku The 48 Laws of Power karya Robert Greene. Penulis menyampaikan prinsip jangan pernah mengungkap keinginan Anda yang sebenarnya.
Strategi ini pada prinsipnya adalah menjaga agar orang lain tidak mengetahui tujuan tindakan Anda. Jika mereka tidak memiliki petunjuk mengenai apa yang Anda lakukan, orang lain, termasuk kompetitor, tidak dapat mempersiapkan diri untuk bertahan. Buatlah suasana menjadi cukup kabur, dan pada saat mereka menyadari niat Anda, semuanya sudah terlambat.
Dalam hal ini Anda dapat memunculkan keinginan palsu untuk membingungkan orang lain. Tapi bila pada suatu saat orang lain memiliki sedikit kecurigaan terhadap niat Anda, maka strategi Anda akan gagal. Jangan sampai itu terjadi, bangun kebingungan dengan mengalihkan perhatian dari tujuan asli! Gunakan kesungguhan palsu, kirimkan sinyal yang ambigu, buatlah objek hasrat yang menyesatkan. Karena tidak dapat membedakan antara yang asli dan palsu, mereka tidak dapat memilih tujuan Anda yang sebenarnya.”
Pada tahun 1850, Otto von Bismarck, seorang anggota parlemen Prusia yang berusia 35 tahun, menggunakan cara ini dalam karirnya. Isu-isu pada saat itu adalah penyatuan Prusia dan banyak negara lainnya menjadi satu negara Jerman dan perang melawan Austria, tetangga yang kuat di sisi selatan yang berharap Jerman tetap lemah dan berselisih, bahkan mengancam akan campur tangan jika mereka mencoba bersatu. Pangeran William, sang putra mahkota, dan parlemen bersepakat dengan ide mobilisasi tentara. Pihak yang menentang perang adalah sang raja, Frederick William IV, dan para menterinya, yang lebih memilih berdamai dengan Austria yang kuat.
Sepanjang karirnya, Bismarck adalah pendukung setia kejayaan Prusia. Dia bermimpi tentang penyatuan Jerman, perang melawan Austria, dan memberi pelajaran pada negara yang begitu lama membuat Jerman terpecah-belah tersebut. Sebagai mantan tentara, perang adalah perkara yang mulia.
Namun Bismarck memberikan pidato yang mengejutkan di parlemen pada saat puncak demam perang. Bismarck berbicara tentang dampak kehancuran dari perang, dan yang paling aneh, dia memuji dan membela Austria. Ini bertentangan dengan segala sesuatu yang telah dia perjuangkan. Anggota parlemen lainnya bingung, dan beberapa dari mereka mengubah suaranya. Akhirnya, raja dan menterinya menang, dan perang dapat dihindari.
Beberapa minggu setelah pidato kontroversial Bismarck, raja, yang bersyukur karena Bismarck mendukung ide perdamaiannya, memilihnya menjadi menteri. Beberapa tahun kemudian ia menjadi perdana menteri Prusia. Dalam perannya ini, dia akhirnya memimpin negaranya dan raja yang mencintai perdamaian ke dalam perang melawan Austria, menghancurkannya dan memasukkannya dalam kekaisaran Jerman dengan Prusia sebagai pemimpin.
Dalam kasus inii, meskipun Bismarck pada awalnya bercita-cita menyatukan Jerman dan menganggap perang sebagai hal yang mulia, ia menyadari bahwa Prusia tidak siap untuk perang dan kekalahan dapat membahayakan karirnya. Bismarck berrencana memperoleh jabatan tertinggi untuk mewujudkan keinginannya, namun tidak ingin mendukung perang saat itu. Oleh karena itu, ia berpidato mendukung perdamaian. Pidatonya berhasil membuat raja memberikan jabatan tinggi kepadanya. Dengan jabatan itu, Bismarck akhirnya berhasil mewujudkan cita-citanya.
Kecerdikan Bismarck terletak pada kemampuannya menyembunyikan niat dan memberikan sinyal yang menyesatkan sehingga orang lain tidak bisa menebak keinginannya. Jika ia berbicara dengan jujur tentang ambisinya, ia tidak akan berhasil mempengaruhi orang lain. Namun, dengan cara ini, ia berhasil mengelabui semua orang dan memperoleh apa yang diinginkannya.