Resensi Bagian ke-7 Buku Dare to Lead
Dalam bab “Wholehearted Parenting: Daring to Be the Adults We Want Our Children to Be” dari buku Dare to Lead, Brené Brown, Ph.D., LMSW, mengajak orang tua untuk keluar dari belenggu budaya kesempurnaan dan fokus pada keaslian diri sebagai fondasi pengasuhan. Bab ini menekankan bahwa menjadi orang tua bukanlah tentang menguasai teori parenting, melainkan tentang keberanian menjadi versi terbaik diri sendiri — sosok yang ingin kita wariskan kepada anak-anak. Pembahasan ini mencoba memandang kepemimpinan dari sisi pembentukan kepribadian pemimpin yang diawali dari pendidikan di lingkungan keluarga.
Parenting di Tengah Budaya “Tidak Pernah Cukup”
Brown membuka pembahasannya dengan mengkritik kecenderungan orang tua mencari panduan parenting yang menjanjikan kesuksesan instan bagi anak. Di tengah budaya yang terus meneriakkan “kamu belum cukup,” banyak orang tua terjebak dalam siklus mencari metode sempurna untuk memastikan anak tumbuh bahagia dan sukses. Namun, Brown mengingatkan: tidak ada jaminan dalam pengasuhan. Yang lebih penting, menurutnya, adalah siapa kita sebagai individu dan bagaimana kita berinteraksi dengan dunia. Anak-anak tidak membutuhkan orang tua yang tahu segalanya, melainkan contoh nyata dari nilai-nilai yang ingin mereka tiru.
Menanamkan “Rasa Cukup” melalui Penerimaan Diri
Konsep kunci dalam bab ini adalah rasa cukup (enoughness). Brown menjelaskan bahwa rasa cukup bukan berarti puas dengan stagnasi, melainkan penerimaan terhadap diri sendiri, termasuk keunikan dan ketidaksempurnaan. Untuk menumbuhkan ini pada anak, orang tua harus terlebih dahulu mencontohkan sikap menghargai diri sendiri. Misalnya, saat orang tua menghadapi kegagalan, alih-alih menyembunyikannya, mereka bisa berkata, “Ibu membuat kesalahan hari ini, tapi itu tidak membuat Ibu kurang berharga.” Dengan demikian, anak belajar bahwa kesempurnaan bukan syarat untuk dicintai.
Kerentanan: Kekuatan Tersembunyi dalam Pengasuhan
Brown menantang stigma bahwa kerentanan adalah kelemahan. Justru, menurutnya, mengajarkan anak menerima kerentanan adalah cara membangun kepercayaan diri. Saat orang tua berani mengakui ketakutan atau ketidaktahuan — seperti mengatakan, “Ayah juga gugup saat pertama kali presentasi” — anak memahami bahwa kegagalan dan emosi sulit adalah bagian alami dari proses belajar. Hal ini mendorong anak untuk berani mencoba hal baru, bangkit dari kegagalan, dan tumbuh melalui pengalaman.
Cinta Tanpa Syarat dan Rasa Memiliki
Brown menekankan bahwa rasa percaya diri anak dibentuk melalui keyakinan bahwa mereka dicintai apa adanya. Orang tua perlu menghindari pola penghargaan bersyarat, seperti memuji hanya saat anak menang lomba atau mendapat nilai sempurna. Sebaliknya, dukungan harus diberikan secara konsisten, bahkan saat anak gagal. Misalnya, mengatakan, “Kakak tetap istimewa bagi Ibu, meski nilai matematikamu turun,” membantu anak merasa aman dan berharga tanpa harus membuktikan diri terus-menerus.
Kesadaran dan Menghargai Perspektif Anak
Hubungan sehat antara orang tua dan anak dibangun melalui kesadaran penuh (mindfulness) dan penghormatan. Brown mendorong orang tua untuk mendengarkan tanpa menghakimi — bahkan ketika pendapat anak bertentangan dengan mereka. Misalnya, saat anak protes tentang aturan screen time, orang tua bisa merespons dengan, “Ayah dengar kamu kesal. Mari cari solusi bersama.” Pendekatan ini mengajarkan anak bahwa suara mereka penting, sekaligus melatih kemampuan berpikir kritis.
Menjadi Pemimpin melalui Teladan
Pesan utama Brown adalah: Anak-anak meniru apa yang mereka lihat, bukan apa yang mereka dengar. Jika orang tua ingin anak tumbuh menjadi pribadi jujur, mereka harus berani mengakui kesalahan. Jika ingin anak berempati, orang tua perlu menunjukkan kepedulian kepada orang lain. Brown memberi contoh konkret: saat orang tua meminta maaf setelah marah tidak terkendali, mereka mengajarkan tanggung jawab dan kerendahan hati — nilai yang lebih kuat daripada sekadar nasihat.
Kesimpulan: Pengasuhan yang Berani dan Autentik
Bab ini menawarkan paradigma baru: keberhasilan parenting tidak diukur dari seberapa sempurna anak, tetapi dari seberapa berani orang tua hidup dengan integritas dan kerentanan. Dengan menjadi teladan yang utuh, orang tua tidak hanya membesarkan anak, tetapi juga calon pemimpin yang percaya diri, berempati, dan resilien. Seperti dikatakan Brown, “Anak-anak tidak membutuhkan kita menjadi sempurna. Mereka butuh kita menjadi manusia yang berani tumbuh.”
Melalui panduan ini, Brown mengajak orang tua untuk melepaskan kecemasan akan ketidaksempurnaan dan beralih ke pengasuhan yang penuh makna — di mana cinta, keaslian, dan keberanian menjadi warisan terbaik bagi generasi mendatang.