Prinsip Pemberdayaan dalam Kepemimpinan 2
Pada bagian ini kita masih melanjutkan pembahasan tentang pemberdayaan dalam kepemimpinan. Kita masih melanjutkan kisah perusahaan Ford Motor Company.
Memasuki era baru, ternyata muncul seorang Henry Ford lain. Putra tertua Edsel, Henry Ford II yang berusia 26 tahun, memilih pensiun lebih awal sebagai Angkatan Laut agar dapat kembali ke Dearborn, Michigan, dan mengambil alih perusahaan. Awalnya, ia menghadapi perlawanan dari para pengikut setia kakeknya. Tetapi dalam dua tahun, ia berhasil mendapatkan dukungan dari beberapa tokoh penting. Ia mendapat dukungan dari dewan direksi karena ibunya menguasai 41 persen saham Ford Motor Company, dan meyakinkan kakeknya untuk mundur sehingga ia dapat menjadi presiden.
Henry muda mengambil alih perusahaan yang belum mencetak keuntungan selama lima belas tahun. Pada saat itu, perusahaan mengalami kerugian $1 juta per hari! Presiden muda ini tahu bahwa ia berada di luar batas kemampuannya, sehingga ia mulai mencari para pemimpin baru. Untungnya, kelompok pertama datang menghampirinya. Kelompok ini adalah tim 10 orang, yang dipimpin oleh Kolonel Charles “Tex” Thornton, yang memutuskan untuk bekerja sama setelah bertugas di Departemen Perang selama Perang Dunia II. Kontribusi mereka bagi Ford Motor Company sangat besar. Dalam beberapa tahun berikutnya, kelompok ini menghasilkan enam wakil presiden perusahaan dan dua presiden.
Arus kedua kepemimpinan datang dengan masuknya Ernie Breech, seorang eksekutif berpengalaman dari General Motors dan mantan presiden Bendix Aviation. Henry muda mempekerjakannya sebagai wakil presiden eksekutif Ford. Meskipun Breech menduduki posisi di bawah Henry, harapannya adalah bahwa ia akan mengambil alih dan mengembalikan kejayaan perusahaan. Dan memang begitu. Breech dengan cepat membawa lebih dari 150 eksekutif luar biasa dari General Motors, dan pada tahun 1949, Ford Motor Company mulai bangkit kembali. Pada tahun itu, perusahaan berhasil menjual lebih dari satu juta mobil Ford, Mercury, dan Lincoln — penjualan terbaik sejak Model A.
Jika Henry Ford II memimpin Berdasarkan Hukum Pemberdayaan, Ford Motor Company Mungkin Akan Tumbuh lebih Besar hingga Akhirnya Mengejar dan Menjadi Perusahaan Mobil Nomor Satu Lagi, Mengalahkan General Motors. Tapi Hanya Pemimpin yang memiliki rasa aman yang Dapat Memberikan Kuasa kepada Orang Lain. Henry Merasa Terancam. Keberhasilan Tex Thornton, Ernie Breech, dan Lewis Crusoe, seorang eksekutif yang berbakat dari GM yang Dia Bawa Masuk ke Perusahaan, Membuat Henry Cemas terkait Posisinya di Ford. Ini disebabkan oleh posisinya Tidak Berdasarkan Pengaruh yang nyata, Tetapi karena Nama dan Kontrol Keluarga atas kepemilikan saham Perusahaan.
Hasilnya, Henry menggunakan strategi mengadu antara satu eksekutif puncak melawan yang lain. Ia mengundang Thornton ke kantor dan mendorongnya agar terus mempermasalahkan berbagai hal terkait Crusoe. Setelah beberapa waktu, Crusoe merasa terganggu dengan insubordinasi Thornton dan menuntut agar Breech memecatnya, yang akhirnya kejadian. Lalu Ford setelahnya malah mendukung Crusoe, yang bekerja di bawah Breech.
Kelakuan Ford yang seperti itu membuat kepemimpinan perusahaan selalu dalam kondisi tidak kondusif.