Prinsip Pemberdayaan dalam Kepemimpinan 3
Pada bagian sebelumnya telah kita dapati bahwa Henry Ford, baik sang pendiri maupun cucunya, enggan memberdayakan jajaran eksekutif di bawah mereka. Lebih lanjut, penulis biografi Ford, Peter Collier, dan David Horowitz, menggambarkan metode kepemimpinan Henry Ford II.
Insting Henry dalam bertahan muncul sebagai wujud kecerdikannya yang dikombinasikan dengan sebentuk kelemahan. Henry memberikan Crusoe kekuasaan untuk melakukan hampir semua hal yang ingin ia lakukan. Dengan menarik semacam bentuk restu dari Breech dan malah memberikannya kepada pendampingnya, ia telah menjadikan dua orang yang paling penting bagi kesuksesan Ford sebagai musuh. Meskipun Henry sudah kehilangan kepercayaan pada Breech, ia tetap membiarkannya secara resmi memegang jabatan karena ini memberikan keluwesan bertindak. Dan, sebagai atasan resmi Crusoe, Breech dapat berguna jika Henry ingin menjaga Crusoe tetap terkendali. Pola ini berlanjut dalam kepemimpinan Henry Ford II. Setiap kali seorang eksekutif mendapatkan kekuasaan dan pengaruh, Henry mengurangi otoritas orang tersebut dengan memindahkannya ke posisi yang lebih rendah, mendukung bawahan eksekutif tersebut, atau secara terang-terangan merendahkan dia. Pola ini terus berlanjut selama Henry II berada di Ford.
Seperti yang pernah dikomentari oleh salah satu presiden Ford, Lee Iacocca, setelah meninggalkan perusahaan. Dia menyatakan bahwa ia mengalami sendiri bagaimana gaya kepemimpinan Henry Ford, memiliki kebiasaan buruk menyingkirkan pemimpin yang kuat.
Inilah yang terjadi jika Anda Tidak Bisa Memimpin. Bahkan Iacocca Mengatakan bahwa Henry Ford II Pernah Menjelaskan Filsafat Kepemimpinannya Padanya, Beberapa Tahun Sebelum Iacocca Sendiri Menjadi Sasarannya. Ford Mengatakan bahwa jika seseorang bekerja untuk Anda, jangan biarkan ia terlalu nyaman. Jangan biarkan ia merasa enak atau terlalu mantap dalam pekerjaannya. Selalu lakukan hal yang bertentangan dengan yang dia harapkan. Buat orang-orang Anda merasa cemas dan tidak stabil.
dua orang Henry Ford ini tidak mematuhi Hukum Pemberdayaan. Alih-alih mencari pemimpin, membinanya, memberinya sumber daya, wewenang, dan tanggung jawab, dan kemudian membiarkannya mencapai prestasi, mereka bergantian mendorong dan melemahkan orang-orang terbaik mereka karena rasa ketidakamanan mereka sendiri. Namun, jika Anda ingin berhasil sebagai seorang pemimpin, Anda harus menjadi pemberdaya. Pemimpin yang baik menyadari bahwa eksekutif terbaik adalah seseorang yang cukup bijaksana dalam memilih orang-orang baik untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan, dan cukup memiliki kendali diri untuk tidak ikut campur saat orang-orang ini melakukan pekerjaannya.
Kenyataannya hambatan terhadap pemberdayaan ini akan selalu ada. Analis kepemimpinan Lynne McFarland, Larry Senn, dan John Childress menyatakan bahwa model kepemimpinan pemberdayaan merupakan perpindahan dari kekuasaan berbasis jabatan. Pada model ini semua orang diberi peran kepemimpinan sehingga mereka dapat berkontribusi dengan kapasitas penuh. Hanya orang-orang yang diberdayakan yang dapat mencapai potensinya. Ketika seorang pemimpin tidak dapat atau tidak mau memberdayakan orang lain, ia membuat hambatan dalam organisasi yang tidak dapat dipecahkan. Jika hambatan tersebut tetap ada dalam periode yang cukup lama, maka orang-orang akan menyerah, atau mereka akan pindah ke organisasi lain di mana mereka dapat memaksimalkan potensinya.