Resensi Buku

Hancurkan Lawan Tanpa Sisa (1)

Usaha pencapaian tujuan, jabatan, otoritas kekuasaan, penguasaan sumber daya, dan sejenisnya tidak ubahnya seperti sebuah peperangan. Situasi yang menempatkan pihak-pihak yang ada di dalamnya saling berhadapan, bermusuhan, dan menghancurkan. Setidaknya seperti itulah yang ingin disampaikan buku “48 Laws of Power” karya Robert Greene.

Setiap pemimpin besar sejak zaman Musa telah mengetahui bahwa musuh yang menakutkan harus dihancurkan secara total. Terkadang, mereka mempelajari hal ini melalui cara yang sulit. Jika percikan bara api masih dibiarkan hidup, meskipun kecil dan redup, akhirnya api akan menyala kembali. Bila hal itu telah terjadi, banyak kerugian akan diderita. Lebih baik lakukan pemusnahan yang menyeluruh sedari awal. Musuh yang belum hancur akan pulih dan akan membalas dendam. Hancurkan musuh, bukan hanya secara fisik tetapi juga secara mental dan emosional.

Berikut adalah kisah persaingan antar pemimpin Tiongkok yang paling epik dalam sejarah, yaitu perjuangan antara Hsiang Yu dan Liu Pang. Keduanya memulai karier mereka sebagai teman dan berjuang bersama. Hsiang Yu, seorang bangsawan besar dan kuat, memiliki sifat keras dan temperamental. Meskipun kurang cakap, dia adalah pejuang perkasa yang selalu bertempur di depan pasukannya. Di sisi lain, Liu Pang berasal dari latar belakang petani. Dia bukanlah seorang tentara dan lebih tertarik pada wanita dan anggur daripada berkelahi. Meskipun begitu, Liu Pang cerdik dan mampu mengenali ahli strategi terbaik untuk dijadikan penasihat, dan dia mendengarkan pendapatnya. Dia naik pangkat melalui kekuatan ini.

Pada tahun 208 SM, mereka berdua berperang melawan kerajaan Ch’in yang kuat. Hsiang Yu khawatir bahwa Liu Pang akan sampai lebih dulu ke ibu kota Ch’in, Hsien-yang, dan mengambil alih komando seluruh pasukan. Dalam kegelisahan, Hsiang Yu memenggal kepala komandan kedua, Sung Yi, yang ragu-ragu mengirim pasukannya ke medan perang, dan mengambil alih komando tunggal. Namun, Liu Pang berhasil mencapai Hsien lebih dulu dengan pasukan yang lebih kecil dan lebih cepat. Penasihat Hsiang Yu, Fan Tseng, memberi peringatan tentang ambisi Liu Pang dan menyarankan agar ia dibunuh.

Hsiang Yu berencana untuk membunuh Liu Pang, tetapi rencananya gagal dan Liu berhasil melarikan diri. Hingga pada satu kesempatan Hsiang Yu berhasil mendesak Liu Pang, tapi lagi-lagi Hsiang Yu tidak membunuh lawannya dan menerima tawaran damai. Kembali Liu Pang berhasil kabur dan mengumpulkan sisa pasukannya. Ketika Hsiang Yu lengah, ia dan pasukannya berhasil dihancurkan oleh pasukan Liu Pang. Hsiang Yu melarikan diri dan akhirnya bertemu dengan kelompok kecil tentaranya sendiri. Namun, merasa terpojok dan ingin menghindari pengejaran lebih lanjut, ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan menggorok lehernya.

Kisah ini memunculkan penafsiran bahwa Hsiang Yu, meskipun kejam, memiliki rasa hormat dan simpati terhadap Liu Pang. Hal ini menghalangi langkah-langkah tegas untuk menghancurkannya. Namun, sikap simpati dan harapan rekonsiliasi ini menjadi bumerang baginya. Liu Pang, dengan kekuatannya yang cerdas, memanfaatkan situasi ini dan menghancurkan Hsiang Yu. Kisah ini mengajarkan bahwa dalam persaingan kekuasaan, kita tidak boleh membiarkan belas kasihan atau harapan rekonsiliasi menghalangi langkah tegas yang diperlukan untuk mengalahkan musuh. Jika kita memberikan kesempatan kepada musuh kita, mereka akan kembali mengancam kita di masa depan. Liu Pang memahami pelajaran ini dengan baik dan berhasil menjadi salah satu penguasa terbesar Tiongkok, pendiri Dinasti Han.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *