Resensi Buku

Memahami Tipologi dan Survei Budaya Organisasi – Kritik dan Rekomendasi dari Edgar Schein

Bab 10 buku Organizational Culture and Leadership karya Edgar Schein membahas peran tipologi budaya dan survei dalam menganalisis budaya organisasi. Schein mengkritik pendekatan yang terlalu mengandalkan klasifikasi umum, sekaligus menawarkan refleksi tentang kapan alat-alat ini bisa digunakan secara efektif. Bab ini menekankan bahwa meskipun tipologi dan survei berguna sebagai titik awal, keduanya memiliki keterbatasan serius dalam menggambarkan kompleksitas budaya organisasi secara utuh.

Tipologi budaya merupakan suatu penyederhanaan yang berisiko. Metode tipologi seperti model yang dikembangkan Etzioni atau Harrison dan Handy, bertujuan mengkategorikan organisasi berdasarkan karakteristik tertentu. Misalnya, Etzioni membagi organisasi menjadi tiga jenis: koersif (berbasis paksaan), utiliter (berbasis insentif), dan normatif (berbasis nilai). Klasifikasi ini membantu membandingkan organisasi secara luas, namun Schein mengingatkan bahwa tipologi sering kali terlalu abstrak. Mereka gagal menangkap dinamika internal, seperti interaksi antar dimensi budaya atau variasi subkultur dalam satu organisasi. Penyederhanaan ini berisiko mempersempit persepsi analis terhadap realitas unik organisasi, terutama jika digunakan untuk memahami budaya spesifik.

Terdapat beberapa masalah utama dalam survey budaya. Schein mengidentifikasi tujuh kelemahan survei sebagai alat pengukuran budaya:

  1. Pertanyaan tidak tepat: Survei sering dirancang tanpa pemahaman mendalam tentang budaya yang hendak diukur, sehingga dimensi kritis mungkin terlewat.
  2. Respons tidak jujur: Karyawan mungkin enggan menjawab terbuka karena kekhawatiran privasi.
  3. Interpretasi ambigu: Pertanyaan bisa dimaknai berbeda oleh responden, menghasilkan data yang tidak konsisten.
  4. Data dangkal: Survei sulit mengungkap asumsi dasar (basic assumptions) yang menjadi inti budaya, yang hanya terlihat melalui observasi interaksi.
  5. Sampel tidak representatif: Partisipan survei mungkin bukan pembawa budaya utama.
  6. Mengabaikan pola interaksi: Hasil survei cenderung statis dan tidak menangkap hubungan dinamis antar dimensi budaya.
  7. Efek negatif: Survei berpotensi memicu kecemasan atau konflik jika disalahgunakan.

Meski bermasalah, survei tetap berguna dalam konteks tertentu, seperti membandingkan budaya antarorganisasi sebelum merger, mengidentifikasi subkultur, atau mendidik karyawan tentang nilai inti. Data survei juga bisa menjadi dasar untuk analisis kualitatif lebih mendalam, asalkan diinterpretasikan dengan hati-hati.

Schein meninjau berbagai model tipologi, seperti Competing Values Framework (Cameron & Quinn) atau tipologi Goffee & Jones yang berbasis solidaritas dan keramahan. Meski model-model ini membantu mengidentifikasi kecenderungan umum, Schein menilai mereka gagal menjelaskan bagaimana dimensi budaya saling memengaruhi atau beradaptasi dengan lingkungan eksternal. Misalnya, tipologi yang berfokus pada struktur otoritas tidak cukup menggambarkan bagaimana inovasi muncul dari konflik antar subkultur.

Dalam usaha memahami budaya organisasi, pendekatan holistik merupakan solusinya. Schein menegaskan bahwa tipologi dan survei hanyalah alat bantu, bukan pengganti analisis mendalam. Untuk memahami budaya organisasi, diperlukan pendekatan klinis yang melibatkan observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan diskusi dengan anggota organisasi. Interaksi langsung memungkinkan peneliti menangkap nuansa yang tidak terlihat di survei, seperti nilai implisit atau sejarah organisasi. Dengan kata lain, budaya bukan sekadar kumpulan dimensi yang terukur, melainkan sistem hidup yang terus berevolusi. Bab ini mengajak pembaca untuk bijak menggunakan tipologi dan survei—menyadari batasannya, sekaligus memanfaatkannya sebagai pelengkap metode analisis yang lebih manusiawi dan kontekstual.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *